Charles Bonar Sirait Dukung Pengembangan Kawasan Danau Toba : “Batak Center Perlu Membentuk Kompartemen SDGs”

Media Trans – Praktisi komunikasi terkemuka yang juga pendiri Nusantara One, Charles Bonar Sirait, pada 27 Maret 2024 bertempat di Sekretariat Batak Center dikawasan Tanah Abang Jakarta Pusat, dalam suatu forum diskusi terkait pembangunan Sumatera Utara, khususnya pengelolaan Kawasan Danau Toba, menyampaikan pemikirannya dalam materi bertajuk “Peta Jalan Pembangunan Provinsi Sumatera Utara 2024”, mengutarakan bahwa Sumatera Utara dengan keberadaan Danau Toba, potensi pariwisatanya sebetulnya tidak kalah dengan Bali.

Hadir dalam forum diskusi, selain Charles Bonar dengan Tim Nusantara One, jajaran pengurus Batak Center, diantaranya Ketua Umum Sintong M. Tampubolon, Sekjen Jerry R. Sirait, Bendum Lambok Sianipar, Wasekjen Freddy Pandiangan, dan aktivis warisan budaya Joe Marbun.

“Namun kelebihan Bali, mereka mempromosikan Bali dengan konsep setiap hari adalah hari libur (Everyday is Holiday). Nah, kalau Danau Toba yang indah itu, ramai dikunjungi hanya ketika Hari Raya Natal dan Tahun Baru saja. Ya, rugilah. Sedikit pula pendapatan disana. Sebab itu, kalau bisa konsepnya diubah menjadi setiap hari liburan,” ungkap Charles yang hadir didampingi orangtua yang juga tokoh. Amir L. Sirait, ayah Charles Bonar, adalah politisi senior mantan DPR asal Golkar, sedangkan Martha Napitupulu, ibu Charles seorang pelaku usaha fesyen berbahan ulos sekaligus aktivis kebudayaan Batak, serta Tim Kerja dari Nusantara One.

Charles mengakui tidak mudah mempromosikan Danau Toba, dirinya mengalami respon kurang baik dari sejumlah pihak saat menawarkan konsep pengembangan Kawasan Danau Toba.

Charles mengemukakan bahwa realitas yang sangat berbeda, ketika dirinya dipercayakan untuk mempromosikan Tour de Flores dan Mandalika Racing Team yang dengan mudahnya mendapatkan sponsor dari Pertamina dan lain-lain.

“Kalau saya jualan proposal Wisata Danau Toba yang indah ini, susahnya mencari sponsor lantaran berbagai alasan. Salah satunya terkait keramahtamahan warga di kawasan Danau Toba. Salah satu sponsor pernah bilang bahwa danaumu sih hebat, tapi warga sekitar Danau Toba masih belum terlihat keramahtamahannya,” jelas pendiri Indonesia’s Nusantara One Net Zero Emissions 2060 Movement ini.

Charles menyampaikan bahwa dirinya dan tim melakukan riset, dan ternyata tidak hanya soal keramahtamahan, masih banyak lagi yang perlu dibenahi dalam rangka meningkatkan pariwisata di Kawasan Danau Toba, termasuk juga masalah kehadiran sarana hotel bintang empat atau lima, rumah sakit berkelas satu dan lainnya.

“Sepanjang tidak bisa menghadirkan hotel dan rumah sakit kelas satu di Kawasan Danau Toba, akan sulit mendatangkan banyak turis mancanegara,” ujar Charles yang juga kandidat Doktor.

Penerapan SDGs Untuk Perubahan Budaya

Dalam kesempatan yang sama, dari masalah pengelolaan Kawasan Danau Toba, Charles memaparkan tentang implementasi SDGs (Sustainable Development Goals) atau TPB (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) yang ditetapkan PBB oleh 190 negara.

“Tujuan SDGs mengajak kita untuk memikirkan generasi selanjutnya. Sebab itu, generasi saat ini tidak boleh sesukanya menghabiskan sumber daya alam tanpa memikirkan generasi berikutnya,” terang Charles.

Sementara Ketua Umum Batak Center, Ir Sintong M. Tampubolon mengatakan pemikiran yang dipaparkan Charles Bonar Sirait kiranya sejalan dengan visi dan misi Batak Center.

“Pelestarian budaya Batak menjadi begitu penting dalam pengembangan pariwisata Danau Toba. Sebab Budaya Batak memiliki andil besar dalam pariwisata, selain keindahan alam Danau Toba. Juga, tak kalah penting adalah SDM unggul di Kawasan Danau Toba untuk melayani para turis domestik dan mancanegara,” tukas SM. Tampubolon.

Penerapan SDGs yang ditargetkan berakhir pada 2030, dapat menjadi bagian untuk mengubah suatu budaya.

“Beberapa tujuan dari SDGs ini sebenarnya dapat juga mengubah perilaku pada budaya, misalnya zero emission, orang tidak sembarangan lagi membakar lahan atau menggunakan bahan bakar fosil (BBM). Semua beralih ke energi terbarukan. Dunia dewasa ini membicarakan soal kerusakan lingkungan global”.

“Posisi kita di mana? Orang kita, khususnya Batak, tidak peduli isu ini,” kritik Charles.

“Tujuan dari SDGs ini adalah mengajak kita untuk memikirkan generasi selanjutnya. Janganlah kita hanya memikirkan kepentingan generasi kita dengan sesukanya menghabiskan sumber daya alam yang tersedia, sehingga kita menyisakan masalah bagi generasi berikutnya. Kita menganggap itu persoalan yang harus mereka hadapi, bukan urusan kita” terang Charles yang juga penulis buku.

Charles mengemukakan gagasannya agar Batak Center, sebagai lembaga besar dan sudah dikenal luas, dapat mengambil bagian sebagai organisasi yang turut mengusung isu SDGs, dan berkolaborasi dengan banyak organisasi/ lembaga pendukung SDGs lainnya, termasuk menjadi mitra Pemerintah mensukseskan isu turunan SDGs, Indonesia Net Zero Emission pada 2060.

“Batak Center perlu membentuk semacam kompartemen yang mengurusi SDGs, undang Bappenas untuk mendiskusikan kerjasama mendukung pelaksanaan SDGs, khususnya Net Zero 2060” pungkas Charles. (DED)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*