PGI : Apakah Kita Akan Menutup Tahun dengan Menambah Daftar Korban atau Memulai Perdamaian Sejati?

Media Trans – Menjelang akhir tahun 2025, luka kemanusiaan di Tanah Papua kembali menganga lebar. Di balik sunyi gunung-gunung dan lembah yang hijau, suara tangis ibu, anak-anak, dan para pengungsi menggema sebagai jeritan nurani yang belum menemukan ruang keadilan.

Dari Timika hingga Puncak Jaya, dari Yahukimo hingga Pegunungan Bintang, konflik bersenjata antara TNI–POLRI dan TPNPB kembali meningkat tajam sepanjang Agustus hingga Oktober 2025, meninggalkan jejak penderitaan panjang bagi warga sipil.

Data yang dihimpun oleh berbagai lembaga gereja dan kemanusiaan menunjukkan bahwa sepanjang dua bulan terakhir, warga sipil yang terpaksa mengungsi akibat operasi militer di wilayah Pegunungan Papua mendekati lebih dari 100.000 jiwa.

Mayoritas adalah perempuan dan anak-anak yang kehilangan rumah, tanah, dan akses pada layanan dasar. Laporan terbaru dari Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (YKKMP) dan Keuskupan Timika, mencatat bahwa sejak 2018 hingga kini, 24 kali operasi militer besar telah terjadi di Tanah Papua, dengan dampak pengungsian paling luas di Nduga, Intan Jaya, Yahukimo, Pegunungan Bintang, dan Lanny Jaya.

Dari wilayah Nduga saja, YKKMP mendampingi 10.272 jiwa pengungsi yang tersebar di 12 kabupaten dan 93 titik lokasi pengungsian, termasuk di Wamena dan Lanny Jaya. Ribuan lainnya dari Intan Jaya, Puncak, dan Yahukimo kini hidup dalam pelarian di hutan-hutan tanpa tenda, tanpa obat, tanpa makanan. Banyak anak yang lahir di pengungsian tanpa pertolongan medis, banyak pula yang meninggal tanpa sempat tercatat namanya.

Akses pendidikan dan kesehatan lumpuh total, dan gereja menjadi satu-satunya tempat berlindung, sekaligus saksi bisu dari penderitaan umatnya.

Uskup Mgr. Bernardus Bofitwos Baru, OSA, dari Keuskupan Timika, menggambarkan situasi ini sebagai wajah nyata dari “genosida yang berjalan perlahan”, sebuah ancaman terhadap keberlangsungan hidup orang asli Papua.

“Rakyat kami hidup dalam ketakutan, trauma turun-temurun, di tanah yang kaya tambang namun miskin harapan,” demikian kesaksian Uskup Mgr. Bernardus.

Penderitaan itu bukan hanya karena peluru dan senjata, tetapi juga akibat rusaknya tanah dan hutan yang menjadi sumber hidup suku Kamoro dan Amungme akibat ekspansi tambang dan militerisasi wilayah adat.

Laporan-laporan lapangan menggambarkan eskalasi kekerasan yang brutal:

1. Di Soanggama, Intan Jaya (15 Oktober 2025), 15 warga sipil tewas dan 145 orang (68 perempuan, 39 anak) mengungsi setelah operasi militer besar-besaran.

2. Di Lanny Jaya (5 Oktober 2025), operasi helikopter saat kebaktian memaksa 2.000–2.300 warga melarikan diri ke Desa Yigemili.

3. Di Teluk Bintuni (11 Oktober 2025), bentrokan bersenjata memicu pengungsian 238 warga.

4. Di Paniai (20–22 September 2025), puskesmas diduduki aparat, membuat 1.130 warga melarikan diri.

5. Di Yahukimo (31 Oktober 2025), 222 pengungsi baru tercatat, termasuk bayi dan ibu hamil.

Selain itu, Keuskupan Timika dan jaringan gereja lokal mendampingi lebih dari 5.000 pengungsi dari wilayah Kiwirok, Pegunungan Bintang, sejak konflik meningkat pada 2021. Banyak yang kini hidup di kamp pengungsian darurat dengan akses terbatas.

Beberapa bahkan meninggal karena kelaparan dan kekurangan medis, seperti Ms. Madakip Taplo (24 tahun) yang meninggal pada 12 Agustus 2025, dan Ibu Ester Urpon (35 tahun) dari Kiwirok yang meninggal karena kelaparan pada 8 Oktober 2025.

Hingga akhir Oktober 2025, total korban meninggal di seluruh Tanah Papua telah mencapai lebih dari 150 jiwa, sementara belasan personel aparat keamanan dan puluhan kombatan TPNPB juga gugur.

Namun di balik angka-angka itu, yang paling menderita tetaplah rakyat sipil, mereka yang tidak bersenjata, yang kehilangan rumah, dan yang hanya ingin hidup damai.

Kekerasan bersenjata tidak pernah melahirkan keadilan. Ia hanya melahirkan generasi baru yang terluka dan kehilangan arah. Kekerasan adalah lingkaran setan yang menelan nurani bangsa, menumpulkan kasih, dan membunuh masa depan Papua. Karena itu, gereja-gereja di Indonesia terpanggil untuk bersuara lebih keras, bukan untuk berpihak pada kekuasaan, melainkan berpihak pada yang menderita.

Negara harus hadir bukan dengan senjata, melainkan dengan kebijaksanaan hati. Pemerintah Indonesia mesti segera menarik pasukan dari wilayah sipil, membuka akses kemanusiaan nasional dan internasional, dan membentuk zona tanpa perang (no-war zone) di daerah rawan agar ribuan pengungsi internal yang kini hidup di hutan dapat diselamatkan.

Proses dialog bermartabat antara Pemerintah Indonesia dan perwakilan rakyat Papua (OAP) adalah satu-satunya jalan keluar yang adil dan beradab.

Menjelang akhir tahun 2025, pertanyaannya menggantung di langit Papua: Apakah kita akan menutup tahun ini dengan daftar korban yang lebih panjang, atau memulainya dengan langkah kecil menuju perdamaian sejati?

Hanya dengan hati yang penuh kasih dan keberanian moral dari semua pihak, negara, gereja, dan masyarakat sipil Papua dapat disembuhkan. Sebab kekerasan tidak pernah membawa damai. Hanya kemanusiaan yang sanggup memulihkan luka-luka kemanusiaan di Tanah Papua. (MJU/DED)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*