Cendekiawan Muslim Prof Sumanto Al Qurtuby : Waspada Munculnya Taliban Indonesia “Indonistan”

Media Trans – Pasca kelompok Taliban berhasil menguasai pemerintahan Afganistan 15 Agustus 2021, beragam wacana dan opini merespon kondisi Afganistan dibawah kendali kelompok Taliban, dan dampak geopolitiknya.

Prof. Sumanto Al Qurtuby, cendekiawan muslim pun turut menyampaikan opininya, sebagaimana dimuat pada kompas.id 3 September.

Sejumlah kelompok agama dan elite politik di Indonesia tampak kegirangan dengan keberhasilan milisi Taliban mengontrol dan mengambil alih kekuasaan di Afghanistan.

Mereka juga mendesak Pemerintah RI untuk segera mendukung rezim Taliban. Entah apa yang ada di benak mereka.

Padahal, Taliban memiliki sejarah dan reputasi sangat buruk dalam menjalankan roda kepolitikan dan pemerintahan yang membuat rakyat Afghanistan ketakutan dan hidup dalam penderitaan lahir-batin.

Fakta bahwa ratusan ribu warga Afghanistan mencoba kabur dari negara mereka sejak Taliban mengambil alih kekuasaan menunjukkan apa atau siapa “jati diri” Taliban sesungguhnya.

Jelas bahwa rakyat Afghanistan trauma terhadap rezim Islamis-fundamentalis Taliban saat lima tahun (1996-2001) berkuasa, yang penuh dengan kebiadaban dan ketidakmanusiawian.

Dengan jatuhnya kembali Afghanistan ke tangan Taliban, mimpi buruk dan drama horor terbayang di depan mata mereka.

Selama kekuasaan rezim Taliban yang disokong Pakistan dan Al Qaeda, Afganistan (oleh Taliban diberi nama Emirat Islam Afghanistan) menjelma jadi “neraka” dunia mengerikan.

Bahkan Korea Utara jauh lebih baik ketimbang Afghanistan di masa Taliban. Kemiskinan, kelaparan, dan malnutrisi merajalela. Kekerasan demi kekerasan tak pernah berhenti. Perang sipil antarfaksi Islam dan kelompok suku terus berkecamuk.

Pembantaian warga terjadi di mana-mana, bukan hanya terhadap kelompok minoritas etnis dan agama saja (misalnya, kelompok Syiah Hazara) tetapi juga terhadap siapa saja dan kelompok mana saja yang mereka anggap dan cap rival dan musuh pengganggu kekuasaan.

Penting untuk dicatat, rezim Taliban bukan hanya melakukan genosida atas manusia tetapi juga atas produk-produk spiritual-kebudayaan mereka (oleh Raphael Lemkin disebut “cultural genocide”) seperti aneka ragam karya seni, monumen bersejarah, peninggalan kepurbakalaan, atau bahkan bangunan tempat peribadatan karena dicap kafir-sesat, berpotensi menyekutukan Tuhan, tidak religius, atau dianggap menodai kemurnian akidah dan ajaran fundamental Islam yang mereka pegang dan yakini.

Selama berkuasa, rezim Taliban mengunci atau menggembok Afghanistan dari dunia luar. Mereka juga menolak bantuan makanan PBB untuk jutaan warga yang kelaparan. Mereka melarang media dan berbagai aktivitas publik yang dianggap berpotensi mengganggu kekuasaan.

Berbagai aktivitas seni-budaya diharamkan termasuk musik, fotografi, lukisan, film, tarian, dan sebagainya. Kaum perempuan jadi obyek paling mengenaskan.

Mereka harus berpakaian tertutup rapat dari ujung kaki hingga ujung kepala, tak boleh pergi ke tempat umum sendirian tanpa ditemani muhrim (biasanya anggota keluarga), dilarang bekerja di sektor publik (kecuali dokter atau perawat untuk melayani pasien perempuan karena petugas medis laki-laki tak boleh menangani pasien perempuan), anak perempuan dilarang sekolah.

Dan masih banyak lagi kisah pilu mereka. Jika melanggar aturan, mereka akan dihukum cambuk di hadapan publik.

Taliban juga menerapkan kebijakan scorched earth, yakni sebuah strategi untuk menghancurkan aset apa saja (kawasan, fasilitas publik, sumber-sumber ekonomi, industri, dan lainnya) yang dipandang memberi manfaat pihak lawan.

Karena itu jangan heran kenapa ketika Taliban berkuasa mereka memusnahkan banyak kawasan subur dan membakar rumah-rumah dan perkampungan penduduk.

Ketika kekuasaan rezim Taliban rontok tahun 2001 karena digempur tentara AS setelah tragedi terorisme 9/11, kekerasan yang mereka lakukan tak serta-merta berhenti.

Berbagai aksi pengeboman dan terorisme keji untuk menggoyang pemerintah terus mereka lancarkan tanpa henti selama 20 tahun (2001–2021), memakan korban ribuan nyawa dan kerusakan fisik tak terhingga.

Sasaran terorisme (biasanya berupa aksi bom bunuh diri) bukan hanya aparat keamanan atau kantor pemerintahan, tetapi bisa siapa saja (warga sipil, jurnalis, anak-anak, perempuan, dan sebagainya) dan apa saja (termasuk madrasah dan masjid). Mereka disinyalir juga jadi pelaku pengeboman di area kerumunan massa yang ingin kabur di kompleks bandara Kabul.

Nafsu kekuasaan

Kenapa Taliban menerapkan politik totalitarian dan membabi buta yang membuat Afghanistan kian terperosok dan porak-poranda?

Jawabannya sangat simpel. Karena mereka tak mengerti cara memimpin warga yang majemuk dan memerintah sebuah negara.

Mereka tidak memiliki pengetahuan, wawasan, strategi, dan skill untuk memerintah dan mengelola sebuah negara-bangsa. Hanya nafsu kekuasaan yang mereka miliki.

Akhirnya, untuk mengontrol ketaatan publik serta membuat warga tunduk dan patuh, yang bisa mereka lakukan hanya meneror dan menakut-nakuti warga dengan berbagai peraturan dan hukuman keras atas nama “penegakan syariat Islam”. Jadi Taliban pada dasarnya adalah “para bandit berjubah agama.”

Taliban memang bukan kelompok cerdik-cendikia yang berwawasan luas tentang seluk-beluk ilmu pemerintahan, kepolitikan, perekonomian, atau kebudayaan.

Dalam sejarahnya, Taliban adalah sebuah gerakan politik-agama yang terdiri dari kumpulan murid/ alumni madrasah (taliban berarti murid/siswa) yang berafiliasi ke sekolah-sekolah Deobandi (tersebar di berbagai daerah di Asia Selatan) yang bercorak literalis-revivalis-konservatif yang sangat ketat, rigid, closed-minded dan ekstrem dalam memahami, menafsirkan, dan mempraktikkan teks, wacana dan ajaran keislaman.

Lebih jelasnya, kelompok atau gerakan Taliban adalah kombinasi antara ajaran Islam revivalis-konservatif ala Deobandi, ideologi militan Islamisme ala Al Qaeda, dan norma sosial Pasthunwali, yakni gaya hidup tradisional masyarakat Pasthun karena mayoritas Taliban memang dari suku/etnik Pasthun.

Taliban dibentuk tahun 1994 oleh Muhammad Umar (1960-2013, dikenal sebagai Mullah Umar), mantan siswa madrasah Deobandi dan bekas milisi Mujahidin dalam perang Afghanistan – Soviet (1979–1989), yang kala itu baru berumur 34 tahun.

Taliban berhasil menguasai panggung kekuasaan Afghanistan setelah berhasil memanfaatkan situasi chaos dan konflik internal antar-faksi Islam lantaran kegagalan elite politik-agama Afghanistan capai kesepakatan pemerintah koalisi nasional pasca-hengkangnya Tentara Merah Soviet.

Konflik internal antarkelompok Islam dan elite politik-agama itu kemudian memicu meletusnya perang sipil mahadahsyat yang membuat Afghanistan untuk kesekian kali hancur lebur.

Sekitar enam faksi Islam (Hizbul Islam Gulbuddin, Jamiat Islami, Ittihad Islam, Harakat Inqilab Islam, Hizbul Wahdat, dan Junbish Milli) saling berebut kekuasaan, saling mengkhianati, saling membunuh, dan saling memerangi.

Padahal, kelompok radikal Islamis ini (dengan dukungan AS) dulu bersatu-padu sebagai “pejuang mujahidin” melawan tentara Soviet. Begitu Soviet berhasil dipukul mundur, mereka sendiri yang ironisnya saling gempur demi kekuasaan.

Di saat Afghanistan kacau-balau dilanda perang sipil itulah, milisi Taliban muncul sebagai “kuda hitam” yang berhasil merangsek, mengontrol, dan menguasai dua pertiga wilayah Afghanistan dan mendeklarasikan diri pemerintahan baru dengan nama Emirat Islam Afghanistan tahun 1996.

Apakah dengan pendeklarasian pemerintah oleh Taliban ini dengan sendirinya perang sipil berhenti? Tentu saja tidak. Perang sipil antarkelompok (termasuk “Aliansi Utara” yang dibentuk warlord Ahmad Shah Massoud yang terdiri dari koalisi sejumlah kelompok etnis seperti Uzbek, Tajik, Hazara, Turki, Pasthun) terus berlanjut dan berkecamuk.

Mewaspadai “Indonistan”

Jadi, cerita elite Taliban yang sekarang dianggap mengkhianati klausul/ kesepakatan perjanjian damai dengan pemerintah Afghanistan (dan pemerintah AS) bukan hal baru.

Cerita pendongkelan/ pengambilalihan kekuasaan yang kini Taliban lakukan setelah 20 tahun bergerilya juga bukan cerita baru. Ini hanya kisah lama yang kembali terulang.

Siapapun yang mempelajari sejarah Afghanistan akan tahu negeri di kawasan Asia Tengah dan Asia Selatan ini diwarnai konflik, perang, dan perebutan kekuasaan bukan hanya dengan kelompok luar (non-Afghanistan), tetapi juga dengan sesama kelompok sosial di Afghanistan.

Aksi saling jegal, saling bunuh, dan saling memerangi antarkelompok, baik kelompok agama, ideologi, etnis, suku, klan, keluarga, maupun daerah (misalnya Afghanistan utara vs selatan) sudah lumrah terjadi.

Jauh sebelum munculnya kelompok Islamis di panggung politik Afghanistan, kelompok-kelompok sosial lain sudah saling baku hantam demi kekuasaan.

Pelajaran apa yang bisa kita petik dari “drama horor” Afghanistan dan rezim militan Taliban?

Satu hal yang tak boleh diabaikan: jangan meremehkan dan membiarkan kelompok agama berhaluan radikal-konservatif.

Meski awalnya kelompok ini barang kali hanya bergerak di wilayah non-politik (dakwah-keagamaan, moralitas publik, akidah/ teologi, dan sebagainya), jika ada kesempatan, peluang, sokongan, dan dukungan pihak luar, mereka bisa menjelma jadi kelompok militan agama-politik yang kejam, ekstrem, dan radikal dalam menjalankan paham kepolitikan dan keagamaan.

Anggota Taliban mungkin tidak ada di Indonesia. Tetapi umat Islam yang berhaluan, berwawasan, bermental, dan berpola-pikir ala Taliban cukup banyak populasinya. Mereka menyelinap dan tersebar di parpol, ormas, institusi pendidikan, lembaga dakwah, dan bahkan pemerintah.

Oleh karena itu, pemerintah dan masyarakat yang peduli dengan masa depan perdamaian, toleransi, dan kebinekaan bangsa dan negara Indonesia perlu waspada dengan gerak-gerik mereka.

Aparat hukum dan aparat keamanan juga jangan sampai lengah. Jika tidak hati-hati dan tidak ditangani dengan tegas dan saksama, bukan tidak mungkin, mereka kelak bisa menjelma menjadi “Taliban Indonesia” dan menyulap negara ini menjadi “Indonistan”. (Kompas.id)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*