Global Forest Watch (GFW) 2001-2024, Indonesia kehilangan 32 juta hektar Tutupan Pohon, Walhi Deklarasikan 20 September Hari Keadilan Ekologis

Media Trans – Delapan puluh tahun lalu, Proklamasi 17 Agustus 1945 menjanjikan perlindungan bagi seluruh rakyat dan bumi pertiwi. Alih-alih terpenuhi, delapan dekade kemudian, janji itu makin menjauh.

“Krisis ekologis yang terjadi semakin parah. Dampaknya, seluruh dimensi kehidupan masyarakat semakin memburuk,” sebut Horiana, aktivis lingkungan membacakan pernyataan deklarasi Hari Keadilan Ekologis.

Global Forest Watch (GFW) menyebut, periode 2001-2024, Indonesia kehilangan 32 juta hektar tutupan pohon dibandingkan tahun 2000. Angka itu mencakup deforestasi primer maupun sekunder.

“Setiap menit, hutan setara 3,6 lapangan sepakbola lenyap dari peta.” demikian dilaporkan GFW dalam mongabay.co.id 30 September 2025.

Indonesia berada di posisi kedua dunia dalam menyumbang emisi gas rumah kaca dari deforestasi. Situasi itu menjadikan Indonesia berkontribusi sekitar 20% dari total emisi global sektor hutan antara 2013-2022.

Horiana katakan, mengutip laporan Climate Action Tracker 2024, rata-rata emisi dari sektor land-use, land-use change, and forestry (LULUCF) Indonesia mencapai 1 GtCO,e per tahun. Angka itu hampir separuh dari total emisi nasional.

“Laju kepunahan keragaman hayati di negeri ini juga sangat tinggi,” kata Rambu Ana Intan, aktivis lainnya.

Pada 2021 terdapat 189 spesies fauna di Indonesia yang berstatus kritis terancam punah (critically endangered), meliputi 26 mamalia dan sejumlah amfibi, reptilia, dan koleksi lautan.

Rambu sebutkan, Komodo, misal, naik status dari “rentan” ke “terancam punah.” Lebih dari sepertiga (30 %) dari 138.374 spesies yang dinilai IUCN kini berada dalam daftar ancaman kepunahan.

“Ancaman membesar belakangan ini, terutama karena zonasi utama biodiversitas di kawasan Wallacea mengalami deforestasi rata-rata 1,23% per tahun,” katanya mengutip Maria Voight, 2021.

Menurut Rambu, persoalan besar lain Indonesia adalah polusi plastik, yang menjadi salah satu dari “tiga krisis planet” selain krisis iklim dan menyusutnya keragaman hayati. Di mana, Indonesia termasuk penyumbang besar secara global dan penyumbang sampah plastik terbesar ke dua ke laut.

Dampak turunannya, masyarakat Indonesia menelan rata-rata 13 gram mikroplastik per bulan, yang menjadikannya sebagai tertinggi di dunia (Xiang Zhao et al., Environmental Science & Technology, 2024).

“Ini menunjukkan kerentanan masyarakat Indonesia terhadap bencana lingkungan,” ucapnya membacakan naskah deklarasi.

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga menunjukkan, setidaknya terjadi 3.500 kejadian bencana ekologis per tahun, meliputi banjir, longsor, dan kebakaran.

Umbu Hina memaparkan, bencana ekologis yang dipicu ekstraksi alam berlebih ini jelas membawa petaka ke rakyat. Pada 2025, sebanyak 23,85 juta rakyat masih hidup di bawah garis kemiskinan (BPS). Ini menunjukkan bahwa eksploitasi kekayaan alam Indonesia mengalir ke segelintir elite, sementara rakyat harus menanggung derita.

Keadilan ekologis

Suasana di Lapangan Pahlawani, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) Sabtu (20/9/25) ramai orang berkumpul. Sekitar seribuan orang dari jaringan aktivis Walhi (Wahana Lingkungan Hidup) berkumpul untuk mendeklarasikan setiap 20 September sebagai Hari Keadilan Ekologis.

Keadilan ekologis adalah gagasan sekaligus kompas moral. Ia menempatkan manusia, alam, dan generasi mendatang dalam satu kesetaraan.

“Keadilan ekologis bukan sekadar soal kelestarian, tapi soal hak hidup,” sebut Oce Landu Kara yang turut bacakan naskah deklarasi.

Walhi dan aktivis lingkungan menegaskan bahwa bumi dan seluruh ekosistemnya memiliki hak untuk hidup dan memulihkan diri. Bahwa generasi mendatang berhak mewarisi bumi yang layak huni dan hasil kekayaan alam harus dibagi secara adil, bukan dimonopoli oleh segelintir elite.

“Rakyat memiliki hak menentukan arah pembangunan, bukan menjadi korban keputusan sepihak,” katanya.

Oce mengatakan, masyarakat adat, petani, nelayan, perempuan, orang muda adalah penjaga pengetahuan dan ruang hidup; hak mereka untuk mengelola sumber daya harus dilindungi.

Pun demikian di sektor energi. Para aktivis menekankan pentingnya transisi energi secara adil dan demokratis untuk menggantikan energi fosil yang menghancurkan bumi.

Pasal 28H dan 33 UUD 1945 memberi mandat jelas: negara wajib melindungi rakyat dan mengelola bumi, air, dan kekayaan alam sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. “Kami menuntut janji itu ditepati,” kata Oce .

Hadi Jatmiko, Kepala Divisi Penguatan Keorganisasian Eksekutif Nasional Walhi, katakan, term bumi yang mendidih dirasa lebih tepat ketimbang pemanasan global. Perlu upaya lebih serius untuk mencegah situasi yang lebih parah.

“Kita mendorong agar tanggal 20 September ditetapkan menjadi Hari Keadilan Ekologis.Target kita menjadi hari yang diperingati secara internasional.”

Menurut dia, deklarasi ini sebagai upaya untuk mendorong pemerintah lebih serius dalam membuat kebijakan yang lebih protektif untuk melindungi lingkungan. Mulai dari hutan, sumber daya alam dan lautan, pulau-pulau kecil, hingga masyarakat adat.

“Momentum deklarasi ini, kita ingatkan bahwa ini saatnya refleksi, mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang selama ini jadi penghalang terwujudnya keadilan ekologis.”

Hadi menyebut, PNLH sebagai ruang strategis untuk memperkuat posisi rakyat sebagai subjek utama dalam penyelamatan lingkungan hidup dan penegakan keadilan ekologis.

Kegiatan yang melibatkan 498 organisasi jaringan Walhi dan 170 anggota individu di 29 provinsi mengagendakan sejumlah kegiatan. Di antaranya, diskusi tematik mengusung 8 tema yakni pendanaan langsung untuk masyarakat adat dan komunitas lokal, perlindungan dan pengakuan hak rakyat dalam tekanan ekstrativisme.

Juga tema hukum,HAM dan demokrasi, perlindungan ekosistem sabana dalam kebijakan perlindungan ekosistem esensial, perempuan, bencana ekologis dan keadilan iklim.

Ada juga tema reforma agraria dan perlindungan ekologi untuk penguatan ekonomi kerakyatan, hutan, pemanfaatan pesisir, dan pulau-pulau kecil serta transisi energi.

“Bicara ancaman lingkungan global paling tidak ada tiga isu utama. Yakni, krisis iklim, ancaman kepunahan keanekaragaman hayati dan polusi atau sampah” ujar Adam Kurniawan, Kepala Divisi Publik Engagement, Eksekutif Nasional Walhi.

Deklarasi Hari Keadilan Ekologis merupakan salah satu rangkaian kegiatan Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) ke-14 yang Walhi gagas di Sumba Timur, NTT, 18-24 September 2025. Pada momen ini juga terpilih kepengurusan Walhi Nasional. Boy Jerry Even Sembiring, terpilih sebagai Direktur Eksekutif Walhi Nasional periode 2025-2029, menggantikan Zenzi Suhadi. (DED)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*