Daftar Entitas Fintech Ilegal Semakin Bertambah

Total entitas fintech peer to peer lending ilegal yang sudah ditindak oleh Satgas Waspada Investasi sejak tahun 2018 hingga November 2019 sebanyak 1.898 entitas.

Satuan Tugas Waspada Investasi kembali menemukan 125 entitas yang melakukan kegiatan Financial Technology (fintech) peer to peer lending ilegal. Seluruh fintech tersebut tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L Tobing mengimbau agar masyarakat hati-hati sebelum melakukan pinjaman secara online.

“Kegiatan fintech peer to peer lending ilegal masih banyak beredar lewat website maupun aplikasi serta penawaran melalui sms. Kami meminta masyarakat untuk berhati-hati sebelum melakukan pinjaman secara online dengan melihat apakah aplikasi peer to peer lending tersebut telah terdaftar di OJK atau belum,” tulis Tongam dalam siaran persnya yang diterima Hukumonline, Selasa (3/12).

Dengan ditemukannya 125 entitas fintech ilegal ini, lanjut Tongam, semakin menambah daftar entitas fintech illegal. Sebelumnya, pada 7 Oktober 2019, Satgas Waspada Investasi telah menindak 133 entitas fintech peer to peer lending ilegal. Angka ini semakin menambah daftar panjang total entitas fintech peer to peer lending ilegal yang ditangani Satgas Waspada Investasi sampai dengan November 2019 yakni sebanyak 1.494 entitas. Sedangkan total entitas fintech peer to peer lending ilegal yang sudah ditindak oleh Satgas Waspada Investasi sejak tahun 2018 hingga November 2019 sebanyak 1.898 entitas.

Atas dasar itu, Satgas Waspada Investasi yang di dalamnya terdiri dari 13 kementerian/lembaga akan terus saling berkoordinasi dan dengan pihak lain seperti asosiasi fintech untuk mencegah masyarakat menjadi korban dari fintech ilegal. Koordinasi bisa dilakukan dengan memperbanyak sosialisasi dan informasi mengenai bijak meminjam di fintech peer to peer lending danmembuka layanan pengaduan Warung Waspada Investasi.

“Kami mengajak semua anggota Satgas untuk semakin aktif bersama-sama melakukan pencegahan maraknya fintech peer to peer lending ilegaldan invetasi ilegal untuk melindungi kepentingan masyarakat,” tambah Tongam.

Kegiatan Usaha Tanpa Izin

Pada akhir November 2019 ini, lanjut Tongam, Satgas Waspada Investasi juga menghentikan 182 kegiatan usaha tanpa izin dari otoritas berwenang. Kegiatan usaha tanpa izin tersebut berpotensi merugikan masyarakat.

Rincian 182 kegiatan usaha tanpa izin itu antara lain, 164 perdagangan forex tanpa izin, 8 investasi money game, 2 equity crowdfunding ilegal, 2 multi level marketing tanpa izin, dan perdagangan kebun kurma, investasi properti, penawaran investasi tabungan, penawaran umrah, investasi cryptocurrency tanpa izin serta koperasi tanpa izin masing-masing 1 kegiatan usaha.

Tongam menjelaskan bahwa kegiatan 182 entitas ini  berbahaya karena memanfaatkan ketidakpahaman masyarakat untuk menipu dengan cara iming-iming pemberian imbal hasil yang sangat tinggi dan tidak wajar. Total kegiatan usaha yang diduga dilakukan tanpa izin dari otoritas yang berwenang dan berpotensi merugikan masyarakat yang telah dihentikan oleh Satgas Waspada Investasi selama tahun 2019 sebanyak 444 entitas.

Perlindungan Konsumen

Sebelumnya, telah terdapat berbagai pengaturan dalam industri fintech yang dibuat demi memenuhi aspek perlindungan konsumen. Salah satu pengaturan tersebut yaitu perusahaan fintech wajib menerapkan transparansi mengenai suku bunga dan biaya tambahan kepada konsumen seperti peminjam dan pemberi pinjaman.

Berdasarkan pedoman perilaku (code of conduct) Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) terdapat batasan maksimal bunga pinjaman yang dikenakan kepada konsumen sebesar 0,8 persen per hari. Selain itu, terdapat biaya lain yang ditanggung peminjam seperti biaya yang timbul di muka (upfront fee), biaya asuransi atau pertanggungan lain, provisi, biaya keterlambatan, biaya pelunasan dipercepat.

Ketua Bidang Institusi dan Hubungan Masyarakat AFPI, Tumbur Pardede, mengatakan prinsip transparansi khususnya mengenai biaya dan bunga tersebut merupakan sudah menjadi kewajiban bagi perusahaan fintech seperti yang diatur dalam pedoman perilaku. Penerapan prinsip transparansi tersebut dapat terlihat dalam aplikasi hingga kontrak yang diterbitkan perusahaan fintech.

“Implementasi transparansi ini terlihat dalam kontrak. Memang penerapannya bisa beragam ada perusahaan yang menerangkan 2 persen per bulan atau 12 persen per annual tergantung perusahaannya. Umumnya, informasi bunga yang di website itu untuk lender (peminjam) sedangkan bunga untuk borrower melalui ekosistem,” jelas Tumbur Oktober lalu.

Tumbur juga menjelaskan perusahaan fintech yang telah terdaftar di OJK sebagian besar sudah menerapkan prinsip transparansi tersebut. Bahkan, terdapat perusahaan fintech yang menyediakan fasilitas teknologi kecerdasan artifisial untuk menerangkan biaya-biaya pinjaman tersebut. Teknologi ini umumnya terdapat pada layanan pinjaman konsumtif.

Sementara itu, prinsip transparansi ini belum ditemukan pada perusahaan fintech ilegal. Tumbur menjelaskan konsumen sering menjadi korban akibat layanan tersebut karena membengkaknya biaya pinjaman yang harus dikembalikan. Selain itu, perusahaan fintech ilegal juga sering melakukan tindakan intimidatif dan kekerasan dalam penagihan. (sumber : hukumonline.com)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*