
Media Trans – Pemberlakuan UU No 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dikenal juga sebagai KUHP Nasional atau KUHP Baru, resmi berlaku pada 2 Januari 2026, sebagaimana ketentuan saat disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada 2 Januari 2023, yakni berlaku tiga tahun setelah diundangkan. KUHP baru ini menggantikan KUHP lama yang berasal dari masa Hindia Belanda (Wetboek van Strafrecht).
Forum Wartawan Kejaksaan (FORWAKA) Kejaksaan Agung RI bekerjasama dengan Pusat Penerangan Hukum (Puspenkum) Kejagung RI, pada Senin 30 Juni 2025 bertempat di Hotel Grand Mahakam Jakarta Selatan, mengadakan Sosialisasi KUHP Baru bertajuk “Coaching Clinic Hukum untuk Jurnalis: Memahami Delik Pers Dalam KUHP Baru“.
Adapun sosialisasi dan coaching clinic FORWAKA Kejagung mengundang hadir 3 narasumber, yakni :
a. Dr. Neva Sari Susanti, SH., M.Hum, dari Kantor Kejaksaan Agung RI (Koordinator Jampidum), membawakan materi “Penuntutan dan Jerat Pidana Dalam Pemberitaan, Serta Solusinya”; lalu
b. Gandjar Laksmana Nonaprapta, SH., MH, Pakar Hukum Pidana Unversitas Indonesia, yang juga unsur pemerintah dalam Tim Perumus RUU KUHP, paparan bertajuk “Delik Pers dan Potensi Kriminalisasi Pers Pasca KUHP 2023”; dan
c. Abdul Manan, SH., MH, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers, menyampaikan “Ancaman Pidana dari KUHP Baru Untuk Jurnalis”.
“Kita terpanggil melakukan coaching hukum terkait KUHP baru, yang rentan terhadap jurnalis. Ini sangat penting bagi kita, sebagai rambu-rambu” ujar Baren A. Siagian Ketua FORWAKA Kejagung RI dalam sambutannya.
Kepala Puspenkum Kejagung RI Dr. Harli Siregar, SH., M.Hum hadir menyampaikan kata sambutan, dan membuka sosialisasi dan coaching clinic.
“Satu sisi kebebasan pers adalah pilar demokrasi yang tak tergantikan, namun disisi lain kemerdekaan tersebut terus diiringi tanggung jawab dan profesionalisme. Pada kesempatan ini, kita akan bahas dengan ringkas delik pers dalam KUHP Baru, yang berlaku mulai 2 Januari 2026, regulasi ini membawa perubahan signifikan yang patut kita cermati bersama” ujar Harli Siregar, saat membuka acara Sosialisasi dan Coaching Clinic Hukum FORWAKA Kejagung RI.
Paparan Hukum
Koordinator pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejagung RI, Dr Neva Sari, saat menyampaikan materi coaching clinic nya menjelaskan bahwa dalam Undang-Undang Pers, ketentuan pidananya adalah: Subyek Hukum Orang, yakni Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana. Pasal 4 ayat (2) Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. (3) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi”.
Neva Sari melanjutkan penjelasannya, bahwa selain orang, Subyek Hukum adalah Perusahaan Pers.
“Apabila perusahaan pers tidak memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah (Pasal 5 ayat [1]), Perusahaan pers tidak melayani hak jawab (Pasal 5 ayat [2]), Perusahaan pers melanggar pemuatan iklan sebagaimana ditegaskan Pasal 13, Perusahaan pers tidak berbadan hukum (Pasal 9 ayat [2]) dan Perusahaan pers tidak mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab, ditambah nama dan alamat percetakan (Pasal 12). Sedangkan pertanggungjawaban pelaku tindak pidana pers menurut Undang-Undang Pers ini adalah penanggung jawab. Sedangkan pertanggungjawaban pelaku tindak pidana pers menurut Undang-Undang Pers ini adalah penanggung jawab, yang dalam hal berita biasanya dijabat oleh Pemimpin Redaksi.Yang dimaksud dengan “penanggung jawab” adalah penanggung jawab perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi. (penjelasan pasal 12)” jelas Neva Sari.
Neva Sari juga menyampaikan sejumlah pasal tindak pidana pers dalam KUHP, yakni “Pasal 310 KUHP: Pencemaran nama baik, Pasal 311 KUHP: Fitnah, Pasal 315 KUHP: Penghinaan ringan, Pasal 321 KUHP: Penghinaan martabat orang; UU No. 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana Pasal 14 ayat 1 dan ayat 2. Delik Penyebaran berita bohong/kabar berkelebihan yang menimbulkan keonaran di masyarakat. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pasal 57 dan 58. UU No. 14 Tahun 2008 Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik, pasal 51 s.d 55”.
Selain itu, Neva Sari menjelaskan bahwa ada 3 pandangan terhadap hubungan UU Pers dan KUHP, bahwa ada yang berpandangan UU Pers tidak Lex specialis terhadap KUHP, ada juga pandangan menyebutkan UU Pers lex specialis terhadap KUHP, dan selain keduanya, ada yang berpandangan UU Pers merupakan rezim hukum sendiri.
“Undang-Undang Pers sebagai lex specialis memperoleh dukungan dengan adanya Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1608 K/PID/2005” tandas Neva Sari.
Gandjar Laksmana mengawali paparannya menanyakan pemahaman peserta, “Apa beda: menuduh dan memfitnah? bohong dan menipu? protes dan kritik? waspada dan curiga? kabar dan berita? Ingat: bahasa adalah bangsa!” ujar Gandjar Laksmana.
Lebih lanjut Gandjar menjelaskan, “Hukum pidana bersifat ultimum remedium, bukan primum remedium apalagi maximum remedium. Ultimum remedium: Apabila masih ada daya upaya lain yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan hukum (yaitu tertib hukum), hendaknya sarana Hukum Pidana digunakan belakangan. Hukum pidana bukan sarana yang menyenangkan, dan karenanya tidak mengenal damai!”.
“Norma hukum pidana adalah: Larangan. Kewajiban/perintah. Selama tidak ada larangan atau kewajiban, berlaku kebolehan!” tandas Gandjar.
Gandjar yang juga Tim Perumus RUU KUHP unsur pemerintah, menjelaskan karakteristik KUHP Baru, yakni :
- Mengusung 4 misi perubahan mendasar: dekolonisasi, demokratisasi, konsolidasi, dan harmonisasi.
- Mengakui hukum yang hidup sebagai bagian dari hukum positif.
- Menganut aliran neo-klasik yang menjaga keseimbangan antara faktor/unsur objektif (lahiriah) dan subjektif (batiniah).
- Mengembangkan alternatif pemidanaan dan tidak mengedepankan pidana penjara.
- Tidak lagi membedakan kejahatan dan pelanggaran.
- Mengatur subjek hukum pidana korporasi.
- Dimungkinkannya penerapan pertanggungjawaban pidana mutlak dan pengganti.
- Unsur dengan sengaja diangggap ada di setiap rumusan delik, kecuali ditentukan sebagai kealpaan/kelalaian.
- Ada tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan.
- Memperkenalkan adanya double track system dan Tindakan.
- Mengatur ancaman pidana dalam hal (perbuatan) Persiapan.
- Memperkenalkan judicial pardon.
Gandjar mengulas sejumlah pasal yang dapat berkaitan dengan kerja jurnalistik, seperti pasal 246, 247, 249, dan pasal 250.
Paparan Dewan Pers
Paparan Abdul Manan mengemukakan diantaranya mengenai potret pemidanaan dengan KUHP terhadap jurnalis dalam periode 1999-2024, pasal-pasal pidana yang bisa mengancam jurnalis dalam KUHP baru, dan perlindungan terhadap jurnalis dari pasal-pasal pemidanaan.
Abdul Manan juga menyampaikan bahwa telah ada Perjanjian Kerjasama (Nota Kesepahaman/MoU), antara Dewan Pers dengan Kepolisian RI tentang Teknis Pelaksanaan Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum Terhadap Penyalahgunaan Profesi Wartawan, yang ditandatangani pada tahun 2022.
Adapun skema MoU Dewan Pers dan Polri, dijelaskan Abdul Manan, sebagai berikut :
“Laporan publik ke polisi – Penilaian Dewan Pers (karya jurnalistik atau bukan) –Proses Lebih Lanjut (ditangani Dewan Pers jika masuk kategori kasus jurnalistik) atau lanjut proses hukum dengan undang-undang lainnya.”
“Setiap ada laporan kepada polisi yang berhubungan dengan media atau wartawan, maka polisi akan menanyakan kepada Dewan Pers apakah yang dipersoalkan masih ranah karya jurnalistik atau bukan. Produk atau karya Jurnalistik. Kasusnya akan diselesaikan melalui mekanisme Undang-Undang Pers, yaitu melalui hak koreksi, hak jawab, permintaan maaf, pencabutan berita dll. Bukan produk atau karya Jurnalistik. Polisi akan menindaklanjuti kasus tersebut dengan ketentuan perundang-undanganan di luar Undang Undang Pers” urai Abdul Manan.
“Setidaknya ada 3 faktor yang dipertimbangkan dalam membuat keputusan apakah sebuah produk atau karya merupakan karya jurnalistik atau bukan: kelembagaan, kepatuhan kepada kode etik, dan status kewartawanannya. Kelembagaan. Apakah lembaga yang menerbitkan sudah sesuai dengan Standar Perusahaan Pers seperti pedoman Dewan Pers, yang antara lain berbadan hukum, memiliki alamat jelas, penanggungjawab yang jelas dll. Kode Etik. Apakah karya yang dihasilkan mematuhi KEJ, mulai dari verifikasi fakta, akurat, berimbang dll. Status kewartawanan. Apakah yang membuat karya itu adalah seorang jurnalis yang antara lain dibuktikan oleh keterangan sertifikat kompetensi” pungkas Abdul Manan. (DED)
Be the first to comment