Media Trans – Perusahaan teknologi global menjadi incaran sebagian besar negara sebagai obyek pajak untuk meningkatkan penerimaan negara yang terpukul akibat faktor pandemi Covid-19. Indonesia turut menjadi salah satunya dan babak baru segera dimulai.
DailySocial pernah membahas bagaimana akrobat perusahaan-perusahaan ini untuk meminimalkan nominal pajak, bahkan “melenyapkan” kewajibannya, dengan menggunakan salah satu skema populer Double Irish with Dutch Sandwich.
Polemik ini akhirnya menemukan jalan terang.
Sejumlah negara mulai ambil langkah tegas. Ada 10 negara, termasuk Indonesia, yang sudah tancap gas dengan keputusan pajak digital.
Negara-negara lain adalah Austria, Brazil, Ceko, Uni Eropa, India, Italia, Spanyol, Turki, dan Inggris.
Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) tidak tinggal diam. Mereka menyatakan akan melakukan penyelidikan penerapan pajak di negara-negara tersebut. Pemerintah AS khawatir peraturan pajak layanan digital di 10 negara itu akan merembet ke mitra dagang lain dan mendiskriminasi perusahaan digital asal AS.
Negara lainnya yang juga mengincar pajak digital adalah Australia, Meksiko, Filipina, Kenya, dan Chili. Petinggi negara kompak membuat aturan yang diadopsi dari satu sama lain agar perusahaan tersebut tidak lolos dari kewajiban perpajakan. Mencegah mereka “parkir” di negara suaka pajak, seperti Irlandia, Belanda, Bermuda, Luksemburg, dan Singapura.
Indonesia mantap menggunakan skema PPN 10% (value added-taxes/VAT) mulai 1 Juli 2020 yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48/2020 sebagai aturan turunan Perppu No. 1/2020.
Obyek pajak yang masuk dalam beleid ini adalah layanan streaming musik, film, aplikasi, dan games digital. Selain itu, jasa online lainnya dari luar negeri yang memiliki kehadiran ekonomi signifikan dan telah mengambil manfaat ekonomi dari Indonesia melalui transaksi perdagangan juga ikut dikenai PPN 10%.
Pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN atas produk digital yang berasal dari luar negeri akan dilakukan pelaku usaha PSME (perdagangan melalui sistem elektronik). Termasuk di dalamnya adalah pedagang/penyedia jasa luar negeri, penyelenggara PMSE luar negeri, atau penyelenggara PMSE dalam negeri yang ditunjuk Menteri Keuangan melalui Dirjen Pajak.
Pelaku usaha PMSE yang memenuhi kriteria nilai transaksi atau jumlah traffic tertentu selama 12 bulan ditunjuk oleh Menteri Keuangan melalui Dirjen Pajak sebagai pemungut PPN. Sementara pelaku usaha yang telah memenuhi kriteria tetapi belum ditunjuk sebagai pemungut PPN dapat menyampaikan pemberitahuan secara online kepada Dirjen Pajak.
Penyetoran PPN yang telah dipungut wajib dilaksanakan paling lama akhir bulan berikutnya. Pelaporan dilakukan secara triwulanan paling lama akhir bulan berikutnya setelah periode triwulan berakhir.
Tidak ada celah
Peneliti Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji menilai pendekatan yang diambil pemerintah sudah sangat tepat. Dia beralasan, selama ini terdapat perlakuan pajak yang kurang setara antara pemungutan PPN layanan digital dalam negeri dan luar negeri.
“Persoalannya karena sebelum adanya PMK 48/2020 tersebut, PPN atas barang kena pajak tidak berwujud dan jasa kena pajak yang diselenggarakan entitas luar negeri belum sepenuhnya optimal untuk dipungut. Dengan kata lain, beleid ini menjamin keadilan,” katanya kepada DailySocial.
Kedua, lanjutnya, pemungutan PPN ini semakin relevan dengan kebutuhan anggaran pemerintah untuk mencari potensi penerimaan baru. Selain itu, PPN atas digital semakin relevan karena di masa pandemi ini, aktivitas ekonomi banyak dilakukan via digital.
“Artinya, ada windfall gain yang diterima oleh perusahaan yang bergerak, semisal dalam penyedia video berbayar, game, dan sebagainya”.
Serangkaian pasal yang tercantum dalam beleid, menurutnya, bisa dijalankan secara aktif alias peluang untuk kabur jadi susah. Dilihat dari sisi pengaturan mendasar atas pemungutan PPN, baik atas obyek, subyek, saat terutang, tarif, hingga kewajiban rekapitulasi data.
Pun dari sisi administrasi telah diatur akan berada di bawah KPP Badan dan Orang Asing yang telah mempunyai dasar hukum melalui Perdirjen Pajak Nomor Per-07/PJ/2020.
Dia melanjutkan, UU No. 2/2020 menyebutkan bahwa ketidakpatuhan dalam pemungutan PPN dapat dikenakan tiga hal, yakni penegakan hukum berdasarkan ketentuan perundang-undangan pajak, adanya teguran, hingga pemutusan akses secara sementara oleh Menteri yang berwenang di bidang Kemenkominfo berdasarkan permintaaan dari Menteri Keuangan.
“Menurut saya, ada sinyal bahwa beleid ini bisa dijalankan secara efektif.”
Sebagai catatan, di UU No. 2/2020 pungutan pajak atas PMSE dibagi ke dalam tiga jenis pajak, PPN, PPh, dan PTE (pajak transaksi elektronik). Aturan mengenai PPh dan PTE masih menunggu aturan turunan untuk teknisnya.
PTE adalah jenis pajak baru yang menyasar pada penghasilan yang lebih dikenal dengan pajak layanan digital (digital service tax/DST).
Penerapan pajak ini merupakan wujud dari tindakan atau aksi unilateral, namun kesepakatannya harus menunggu pencapaian konsensus global yang sesuai jadwal terwujud pada akhir tahun ini.
Skema DST ini sudah lebih dahulu diterapkan oleh berbagai negara, seperti Austria dengan tarif 5%, Hungaria dengan tarif 7,5%, Italia dengan tarif 3%, Inggris dengan tarif 2%, Prancis dengan tarif 3%, Uruguay dengan tarif 12%, Turki (digital tax) dengan tarif 7,5%, dan India (equalisation levy) dengan tarif 6%.
Kami meminta tanggapan dua perusahaan teknologi raksasa terkait potensi pengenaan PPN 10% untuk layanannya.
Pihak Netflix mengaku mereka belum bisa memberikan pernyataan resmi dan diminta untuk menunggu kabar terbaru yang akan mereka sampaikan.
Sementara Head of Corporate Communications Google Indonesia Jason Tedjasukmana mengatakan pihaknya mematuhi ketentuan pajak di semua negara tempat mereka beroperasi dan terus melakukannya seiring perubahan ketentuan pajak yang ada.
“Untuk mematuhi peraturan pajak pertambahan nilai (PPN) yang baru di Indonesia, kami akan menagihkan Pajak Layanan sebesar 10%, jika berlaku, kepada para klien kami di Indonesia mulai 1 Juli 2020, yaitu sesuai tanggal berlakunya peraturan yang baru tersebut,” katanya.
Sumber Pendapatan Negara
Klasifikasi obyek pajak yang diincar dalam beleid mengindikasikan semakin luasnya nama-nama perusahaan teknologi yang masuk dalam radar. Semua perusahaan teknologi raksasa asal AS, dikenal dengan sebutan FAANG (akronim dari Facebook, Amazon, Apple, Netflix, dan Google/Alphabet) masuk dalam incaran.
Juga termasuk dalam obyek pajak ini adalah aplikasi populer yang banyak digunakan orang Indonesia, seperti Spotify, Zoom, Iflix, Viu, produk game buatan Tencent, dan lainnya yang tidak secara eksplisit memiliki badan hukum lokal.
Jika benar perusahaan tersebut ditetapkan sebagai pemungut PPN oleh Dirjen Pajak, mereka bisa menanggung besaran 10% pajak atau membebankannya ke konsumen–yang berarti penambahan harga.
Indonesia sudah memberlakukan PPN untuk pembelian produk digital dengan metode pembayaran pulsa. Untuk pembelian produk digital di Google Play, konsumen dikenakan tambahan PPN 10% dan biaya layanan 2%. Tidak ada tambahan biaya bila pembayaran menggunakan kartu debit/kredit dan GoPay.
Pendapatan pajak yang diterima negara di sektor ini sesungguhnya tidak terlalu besar. Di naskah akademik RUU Omnibus Law Perpajakan yang rampung Februari lalu, diperkirakan Indonesia dapat meraup pendapatan PPN 10% dari pajak digital sebesar Rp10,4 triliun dari total transaksi elektonik sebesar Rp104,4 triliun.
Transaksi elektronik ini mencakup lima jenis transaksi, yakni transaksi sistem perangkat lunak dan aplikasi; game, video, dan musik; penjualan film, perangkat lunak khusus semisal perangkat desain; transaksi perangkat lunak smartphone; hak siar layanan televisi berlangganan; dan, media sosial dan layanan OTT. (Sumber : dailysocial.id, judul asli “Berbondong-Bondong Menarik Pajak Digital”)
Be the first to comment