Media Trans – Saat masyarakat masih bergelut dengan kesiapan memulai “New Normal” akibat pandemi Covid-19, mencuat Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), dan menimbulkan kontroversi serta menuai polemik, secara khusus dari kalangan lembaga keumatan, seperti NU, Muhammadyah, MUI, dan PGI.
Melansir dari Catatan Rapat Badan Legislasi Pengambilan Keputusan Atas Penyusunan Rancangan Undang-Undang Tentang Haluan Ideologi Pancasila tanggal 22 April 2020, RUU HIP adalah RUU yang diusulkan oleh DPR RI dan disebut telah ditetapkan dalam Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2020.
Berdasarkan catatan rapat tersebut, dikatakan bahwa saat ini belum ada Undang-Undang sebagai sebagai landasan hukum yang mengatur mengenai Haluan Ideologi Pancasila untuk menjadi pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga diperlukan Undang-undang tentang Haluan Ideologi Pancasila.
Berbagai kontroversi terkait RUU HIP ini muncul dari berbagai kalangan. Sejumlah politisi hingga kalangan tokoh agama memberikan komentarnya.
“Terkait RUU HIP, pemerintah menunda untuk membahasnya,” ujar Mahfud dikutip dari akun Twitter-nya, Selasa (16/6/2020).
RUU HIP menuai polemik publik. Sebab, draf RUU tersebut memuat klausul Trisila dan Ekasila di dalam salah satu pasalnya.
Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Pdt Gomar Gultom, M.Th, menyampaikan tanggapannya kepada media, mengenai polemik RUU HIP, sebagai berikut :
1. Saya mengapresiasi langkah yang diambil pemerintah, yang memutuskan untuk menunda pembahasan HIP saat ini.
2. Kita semua membutuhkan Pancasila sebagai falsafah dan pedoman hidup dalam berbangsa dan bermasyarakat. Ini perlu terus dipupuk dan dimasyarakatkan. Kita punya pengalaman ketika Pancasila dimarginalkan paska reformasi 1998, dan olehnya nilai-nilai Pancasila itu perlu digali dan dimasyarakatkan terus. Untuk itu tentu diperlukan acuan hukum yang mendasarinya. Tentu perangkat hukumnya harus dipikirkan masak-masak agar tidak malah mendegradasi posisi Pancasila itu sendiri.
3. Masalah HIP ini sangat mendasar, dan seyogyanya berasal dari sebuah proses demokrasi, yang tumbuh dan berkembang di akar rumput. Sebagai demikian, proses legislasi seperti ini harus berakar pada asprasi rakyat, dan olehnya mestinya sejak awal melibatkan seluruh lapisan masyarakat dalam diskursus maupun perumusannya.
4. Perluasan atau penyempitan tafsir Pancasila bisa membawa kita pada perdebatan antara kelompok agamis dan nasionalis pada sejarah awal pembentukanRI, yang dalam kondisi sekarang sepertinya kurang kondisif diangkat. Bisa saja masalah tafsir Pancasila ini membawa pertentangan yang bisa memecah kita sebagai bangsa, di tengah upaya bersama menghadapi pandemi covid 19, yang justru membutuhkan kerjasama, persaudaraan dan konsentrasi penuh dari kita semua.
5. Olehnya, saya mengimbau masyarakat untuk tetap tenang dan menjaga persatuan dan kesatuan kita sebagai bangsa, terutama dalam menghadapi masa-masa sulit akibat pandemi saat ini. Kita hindarilah pembahasan yang potensial memicu pertentangan di antara kita, karena menyangkut ideologi negara. Seturut dengan ini, saya mengimbau para anggota parlemen RI untuk menunda pembahasan RUU HIP ini, setelah lebih dahulu mempelajari dinamika masyarakt dan menangkap aspirasi masyarakat.
6. Sementara itu, saya memahami bahwa kita juga membutuhkan posisi BPIP yang ada sekarang perlu ditingkatkan pendasarannya atas sebuah UU, ketimbang hanya Keppres sebagaimana yang ada kini. Olehnya mungkin diperlukan sebuah UU tentang BPIP, tanpa melebar ke masalah tafsir Pancasila yang bisa memicu kontroversi. (DED)
Be the first to comment