Waketum Partai Demokrat Willem Wandik : Pemerintah Tidak Bermain-main dengan Eskalasi Potensi Masalah Maupun Konflik di Tanah Papua

Media Trans – Tanah Papua sebagai salah satu entitas Bangsa, dalam bingkai bernegara, semakin hari semakin menunjukkan ketidakpuasan terhadap praktek bernegara, sebut saja penilaian terhadap “tidak bermanfaatnya” otonomi khusus Papua terhadap jaminan hidup dan hak asasi rakyat ras melanesia di Tanah Papua, demikian salah satu poin hasil Rapat Bulanan Komisi Khusus Papua, yang ditulis dan disampaikan Willem Wandik Anggota DPR RI Dapil Papua, yang juga Ketua Umum DPP GAMKI, dalam WA grup GAMKI.

Willem Wandik yang juga Wakil Ketua Umum (wilayah Kawasan Indonesia Timur) DPP Partai Demokrat, lebih lanjut menyampaikan bahwa reaksi terhadap masalah tersebut, memunculkan dampak komplikasi serius, dan menjadi Cancer stadium 4, yang hampir tidak mungkin dapat diobati. Sebab, tuntutan elemen rakyat dan kaum pergerakan di Tanah Papua, secara terang-terangan telah menolak semua tawaran solusi dari Pemerintah Pusat, yang dipandang tidak bisa merubah masalah fundamental di Tanah Papua. Bahkan, secara gamblang dan keras, elemen rakyat dan kaum pergerakan di Tanah Papua, telah secara lantang menyuarakan, tuntutan referendum sebagai solusi final.

Willem mengingatkan Pemerintah, untuk tidak bermain main dengan ekskalasi potensi masalah maupun konflik yang sedang terjadi di Tanah Papua.

“Saat ini, perasaan bersama sebagai rakyat yang tengah mengalami tekanan sosial ekonomi yang begitu seragam di berbagai daerah, yang di picu oleh krisis kesehatan dan menjalar menjadi krisis sosial ekonomi di level akar rumput. Maka begitu mudah, potensi konflik dan kesenjangan yang terjadi di Tanah Papua, akan menjadi malapetaka bagi keberlangsungan Indonesia sebagai negara” terang Willem.

Di Tanah Papua, pelanggaran HAM dan kekerasan aparat terhadap warga sipil masih terus terjadi. Divestasi saham PT. Freeport Indonesia yang diklaim mencapai 51% lebih, dengan pembagian jatah kepemilikan pemerintah daerah, justru tidak bisa menghalangi PHK massal di PT. FI, bahkan tenaga-tenaga kerja asing banyak mengisi sektor lapangan pekerjaan yang di promotori oleh korporasi besar, masih lanjut paparan Willem.

Perebutan lahan perkebunan (seperti sawit) dan HPH hutan, antara rakyat pemilik hak ulayat dengan Korporasi yang di bekingi oleh aparat bersenjata, seringkali merampas tanah tanah adat, dan bahkan tidak jarang menimbulkan korban jiwa di masyarakat adat.

Dan terakhir menyangkut masa depan Otsus Papua, yang justru diprakarsai oleh tim pemerintah pusat, yang diyakini akan mengisolasi substansi pembahasan Otsus Papua, sebatas persoalan distribusi anggaran dan juga masalah kewenangan penyelenggaraan pemerintahan dalam narasi yang normatif (bahkan kembali memperkuat sistem sentralisasi), yang terbaca dari terbitnya berbagai peraturan pemerintah, yang memangkas kewenangan daerah.

Padahal persoalan Otsus Papua itu seharusnya dibicarakan berdasarkan aspirasi rakyat Papua (sesuai amanat UU Otsus No.21/ 2001, Pasal 77) yang menghendaki, penghentian segala bentuk diskriminasi rasial, penghentian pelanggaran Hak Asasi Untuk Hidup (tidak ditembak dan dibunuh), pemberian kedaulatan politik yang luas (baik dalam aspek tata kelola pemerintahan maupun dalam partisipasi kepesertaan di dalam menentukan kepentingan politik Tanah Papua dalam setiap event pesta demokrasi).

Tidak kalah pentingnya juga, Otsus Papua harus dapat memuat klausul pelarangan penggunaan senjata yang melukai warga sipil dan konsekuensi penegakan hukum yang akuntabel (bukan, justru melindungi satuan korps) dan bahkan memberikan promosi kepangkatan bagi mereka yang memiliki masalah pelanggaran HAM di Tanah Papua, tutup Willem. (DED)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*