Media Trans – Masa pandemi Covid-19 di Indonesia yang telah berjalan sejak Maret 2020, juga dirasakan dampak negatifnya dalam dunia olahraga, secara khusus terkait dengan penghasilan para atlet. Hal ini terungkap saat diskusi daring yang digelar DPR RI, Rabu 30 September 2020.
Diskusi daring dalam rangka Hari Olahraga Nasional (9 September), bertajuk “Kebangkitan Dunia Olahraga, Harus Dimulai Dari Sekarang”, dihadiri oleh dua orang anggota DPR RI Komisi X; komisi yang mengurusi Pendidikan, Kepemudaan, Olahraga, Perpustakaan, Pariwisata, dan Ekonomi Kreatif , yakni Putra Nababan, BA (PDI Perjuangan, Dapil Jakarta Timur), dan Hj. Illiza Sa’aduddin Djamal, SE (PPP, Dapil Nanggroe Aceh), dan Berllian Marsheilla, Atlet Nasional Cabang Olah Raga Bola Volley, dipandu oleh news anchor Cheryl Tanzil.
Berlian Marsheilla, akrab disapa Sheila, menyampaikan suara hati para atlet pada masa pandemi, yang juga turut terdampak mengalami kesusahan, khususnya secara ekonomi.
“Pandemi membuat atlet shock, tidak ada kegiatan sama sekali, tidak ada rencana apapun, walaupun beberapa bulan ini sudah bisa latihan di GOR, dengan menerapkan protokol kesehatan, tidak sedikit atlet yang tidak mempunyai pekerjaan apa-apa, tidak mempunyai jaminan apa-apa, saat pandemi tidak punya pemasukan apa-apa” ungkap Sheilla, yang bercita-cita menjadi presenter ataupun news anchor.
Namun demikian, lanjut Sheilla, sekalipun pandemi, dan mengalami kesulitan ekonomi, para atlet tetap latihan. “Kalau latihan, ya tetap latihan juga, tapi intensitasnya tidak sebanyak sebelum pandemi. Biasanya penghasilan atlet, saat sebelum pandemi, dari event-event nasional, diluar event nasional, kita ada event ‘tarkam’ namanya, sekarang itu benar-benar dibatasi, tidak ada pemasukan” tutur Sheilla mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Moestopo (Beragama)
Sementara anggota Komisi X DPR RI, Hj. Illiza Sa’aduddin Djamal, dan Putra Nababan, mengemukakan bahwa Komisi X selain sedang melakukan pembahasan revisi Undang-undang No 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN), juga telah menyetujui anggaran untuk Kementerian Pemuda dan Olahraga, sebesar 2,3 trilyun rupiah.
Diakui kedua anggota Komisi X tersebut, bahwa anggaran 2,3 trilyun merupakan anggaran yang minim bila dibandingkan dengan kementerian lainnya, namun demikian mereka berharap Menpora dapat menerapkan champion programme.
Illiza Sa’aduddin Jamal, yang juga Ketua Umum Persatuan Panahan Indonesia (PERPANI), menyebutkan bahwa Komisi X sudah mengesahkan anggaran untuk Kemenpora.
“Dari anggaran yang 2 trilyun lebih, hanya 900 milyar untuk pemuda dan pembinaan olahraga, sementara biaya pembentukan seorang atlet dunia itu 5 sampai 7 milyar setahun. Kita anggaran yang 2 trilyun itu untuk event yang besar, bukan untuk pembinaan atlet itu sendiri, ini menjadi kendala yang besar” jelas Illiza Sa’aduddin Jamal, yang juga mantan Walikota Banda Aceh.
Putra Nababan, mantan jurnalis dan pimpinan redaksi Metro TV, menanggapi minimnya anggaran Kemenpora yang hanya 2,3 trilyun rupiah, harus disikapi dengan melakukan pick & choose, pilih satu atau dua program, tapi champion.
“Jangan anggarannya sedikit, semua harus dikasih, dengan anggaran yang sedikit, kita harus bisa menginspirasi, champion itu artinya mengisnpirasi. Ditengah pandemi olahraga harus bisa menginspirasi, ditengah resesi, olahraga harus menginspired” ujar Putra yang adalah putra jurnalis senior, juga politisi senior PDI Perjuangan, Panda Nababan.
Lebih lanjut Putra menjelaskan maksud program champion, bahwa program tersebut mendorong Menpora untuk berani memilih cabor (cabang olahraga) mana, tapi bagus sekalian, jangan tanggung-tanggung, pas bandrol, mati segan, hidup tak mau, istilahnya medioker (mediocre).
Sheilla selain menyampaikan curahan hati atlet yang juga terdampak pandemi Covid-19, juga mengemukakan keluhan sulitnya atlet berkiprah/bergabung dengan klub negara lain, atau klub internasional, karena adanya larangan.
Kedua anggota Komisi X DPR RI, mengakui bahwa mereka tidak mengetahui persis peraturan yang melarang atlet bergabung dengan klub asing, mereka menduga ‘pelarangan’ tersebut ada pada tingkat klub, atau wadah atlet.
Mereka mendukung kiprah atlet bergabung dengan klub internasional, selain dapat menambah pengalaman dan ‘jam terbang’ sang atlet, juga mengembangkan dan menambah kualitas serta pengetahuan atlet tersebut, namun mereka sepakat sekalipun mendukung bila atlet berpeluang berkiprah pada klub asing/internasional, tapi harus standby kembali ke Indonesia, bila dipanggil/dibutuhkan mendukung tim Indonesia.
Sheilla mengharapkan pada masa pandemi sekarang ini, tetap ada dukungan swasta kepada atlet, yakni melalui dukungan CSR (corporate social responsibility), sementara Putra Nababan berpandangan bahwa dirinya lebih mengharap sesuatu yang berkelanjutan (sustain).
“Saya berpikir sesuatu yang sustain, berkelanjutan, saya khawatir kalau CSR itu kan sangat tergantung dengan kondisi perusahaan, CSR itu kan diambil dari keuntungan dan komitmen, saat pandemi sekarang, apa perusahaan berani kasih CSR, apakah perusahaan multinasional, BUMN, dan lainnya, punya kesanggupan untuk terus mengembangkan CSR nya, atau bahkan mungkin menurunkan, itu bagus, tapi tidak sustain” terang Putra.
Putra pun menyampaikan bahwa salah satu pembahasan dalam Panja Revisi UU SKN, dibahas tentang konsep berkelanjutan, yakni liga olahraga harus sehat, lalu perkumpulan/organisasi olahraganya harus sehat, kalau itu sudah sehat, maka atletnya pun akan sehat.
Liga yang sehat seperti bisnis, harus ada kepastian, ada perencanaan, dan sebagainya, hal-hal seperti ini, kita tidak hanya berharap pada CSR saja, tapi harus ada suatu profesionalisme dalam mengelola olahraga ini, tambah Putra.
Peningkatan prestasi dan kebangkitan olahraga, selain soal anggaran, peraturan, dan dukungan pemerintah maupun swasta, juga sebagaimana arahan Presiden, dapat juga dilakukan dengan adanya bigdata.
“Bigdata, sesuai arahan Presiden, yakni mengumpulkan dan mengolah berbagai data yang ada terkait dengan data atlet berprestasi diberbagai pelosok daerah di Indonesia, data pada tingkat lokal, daerah, kabupaten/kota, provinsi, dan nasional. Bigdata tidak mahal, yang mahal itu analisis datanya. Dengan bigdata, pemerintah tahu siapa saja atlet berprestasi dan dimana keberadaannya, ini lebih menghemat biaya pencarian atlet berprestasi (talent scouting). Dengan big data, kita akan mengetahui atlet yang berprestasi, dan konsistensinya, atlet seperti itulah yang diundang ke Jakarta untuk masuk pelatnas.” pungkas Putra. (DED)
Be the first to comment