Ketum Sinode GBI Pdt Rubin Adi Abraham : “GBI Menunggu Waktu Tuhan, Mendirikan Universitas Bethel Indonesia”

Media Trans – Sejak terpilih sebagai Ketua Umum Sinode Gereja Bethel Indonesia, dalam persidangan sinode GBI XVI di Sentul International Convention Center (SICC), tahun 2019, Pdt. Dr. Rubin Adi Abraham, M.Th., MA, mengungkapkan kerinduan mendirikan Universitas Bethel Indonesia. Kerinduan tersebut diungkapkan saat menerima kunjugan kasih Perkumpulan Wartawan Media Kristiani Indonesia (PERWAMKI), di Graha Bethel Jl. Ahmad Yani No. 65 Cempaka Putih Jakarta Pusat, Rabu 26 Januari 2022.

Sebelum memasuki ruang pertemuan, sebagaimana protokol kesehatan yang diterapkan di Graha Bethel, para jurnalis PERWAMKI harus terlebih dulu menjalani rangkaian protokol kesehatan, termasuk pemeriksaan tes Swab Antigen.

Ketum Sinode GBI Pdt. Rubin Adi didampingi Sekum Pdt. dr. Yosafat Mesakh menyambut hangat dan mengapresiasi kedatangan PERWAMKI, dan berdialog banyak hal bersama para jurnalis PERWAMKI, diantaranya tentang pandemi Covid-19, pelaksanaan program kerja, hingga perpindahan Ibu Kota Negara.

Ketum Sinode GBI Pdt Rubin Adi Abraham (baju putih), Sekum Pdt Yosafat Mesakh (baju batik)

Pandemi Covid-19

Setelah Covid-19 masuk dan terus meningkat, pihak GBI langsung mengalihkan dana untuk program-program yang sudah ditetapkan, kepada upaya-upaya segera untuk menolong penderita dan mengatasi penyebaran COVID-19.

“Banyak program kita tunda. Kita alihkan pada satu hal yaitu menolong orang lain. Saya serukan untuk melakukan disinfektan, menyediakan alat pelindung diri (APD), dan membantu rumah sakit-rumah sakit. Itu kita lakukan di seluruh Indonesia,” ungkap Ketum Sinode GBI Pdt. Dr. Rubin Adi Abraham.

“Kita data semua yang kesulitan dan terdata sekitar 1600 pendeta yang terdampak. Tentu kita tidak bisa membiayai semuanya, tapi kita memberikan bantuan kepada mereka, antara Rp. 500 sampai 1 juta,” jelas Rubin sambil menjelaskan bahwa salah satu sumber dananya adalah dari fundraising.

Rubin juga menyampaikan bahwa untuk mendukung pelayanan pada bidang kesehatan, Sinode GBI telah membentuk Persekutuan Dokter GBI, dan sudah tersebar diseluruh Indonesia.

Untuk lebih meningkatkan pelayanan kesehatan, Sinode GBI berencana mendirikan berbagai fasilitas layanan kesehatan, seperti Balai Kesehatan, Klinik, hingga Rumah Sakit.

Sementara dalam kaitan dengan penanganan masalah sosial darurat, seperti bencana alam, Sinode GBI sudah lama memiliki Taruna Siaga Bencana (Tagana), kerjasama dengan Kementrian Sosial, yakni bernamakan TAGANA Rajawali. TAGANA Rajawali sudah beranggotakan sekitar 9000 personil tersebar di seluruh Indonesia.

Mendirikan Universitas Bethel Indonesia

GBI dalam pelayanan bidang pendidikan, bertekad menghadirkan berbagai jenjang pendidikan, mulai dari  Pendidikan Anak  Usia Dini (PAUD) hingga  Universitas yaitu Universitas Bethel Indonesia.

“Sebenarnya Sekolah Tinggi dan sejenisnya sudah ada, misalnya yang dibangun pejabat GBI atau ada yang menjadi rektor, tapi secara kelembagaan, sejauh ini  memang belum ada Universitas Bethel Indonesia,” jelas Pdt. Rubin Adi Abraham.

Pdt. Rubin Adi Abraham menambahkan, sudah ada asosiasi pendidikan Bethel yang beranggotakan sekitar 150 lembaga pendidikan, dari PAUD hingga Perguruan Tinggi yang tersebar di seluruh Indonesia.

Pdt. Rubin Adi Abraham menyadari bahwa mendirikan universitas bukanlah hal yang mudah. Oleh karena itu, sambil menunggu “Waktu Tuhan”, GBI akan menumpahkan perhatiannya melalui 150 lembaga pendidikan yang selama ini mereka kelola. Selain itu, melalui gereja local, GBI memberikan bantuan berupa beasiswa kepada anak-anak sekolah yang sangat membutuhkan, juga melalui gerakan orang tua asuh.

Pdt Rubin Adi Abraham

Program Kerja GBI

Periode kepengurusan Badan Pengurus Pusat GBI pimpinan Pdt. Dr.Rubin Adi Abraham, akan berakhir pada 2023, banyak hal yang telah dilakukan kepengurusan sinode, khususnya dalam menangani pandemi Covid-19 dan dampaknya.

Saat ini GBI tengah mengembangkan pelayanan kepada orang-orang yang berada di marketplace.

“Selain bidang sosial, saat ini GBI mengembangkan pelayanan orang-orang yang berada di marketplace. Kita tidak harus orang yang pengusaha besar. Tetapi orang sederhana pun yang bukan rohaniwan, mereka yang berada di gereja lokal itulah kita perlengkapi dengan pemahaman firman. Bagaimana kita bisa melakukan peran kita berbisnis secara jujur dan alkitabiah. Kita membuat kelompok-kelompok yang memperhatikan orang-orang secara ekonomi untuk membuat pelatihan-pelatihan terutama di kantong-kantong Kristen,” ujar Pdt. Rubin Adi.

Selain itu, ada juga beberapa proyek pemberdayaan gereja dan masyarakat yang diselenggarakan oleh GBI, sebut saja seperti yang dikerjakan House of Bread (HOB) yang berada di Tangerang, telah melakukan pelatihan-pelatihan pertanian, seperti budi daya tanaman organik.

Keorganisasian dan Kepemimpinan

Persebaran GBI tidak hanya dalam lingkup wilayah Indonesia, tetapi juga menjangkau mancanegara, dikatakan Pdt. Rubin Adi Abraham, saat ini jumlah jemaat GBI sekitar 3 juta orang.

Semakin membesarnya keorganisasian GBI, dan untuk fokus menjangkau pelayanan yang lebih luas lagi, Sinode GBI sudah menandaskan adanya perubahan dalam hal penetapan kepemimpinan Sinode ke depannya.

“Mekanisme pemilihan Ketum Sinode yang semula memakai sistem “one man one vote”, dalam persidangan sinode mendatang akan memberlakukan sistem perwakilan“ ujar Ketum Sinode GBI Pdt. Rubin Adi Abraham.

Perubahan mekanisme pemilihan Ketua Umum Sinode, sebenarnya wacana lama, hal ini sudah disampaikan dalam draf tata gereja yang semestinya disahkan dalam sidang sinode tahun 2019, ternyata saat itu deadlock. Karena dalam sidang sinode itu belum dapat diterima. Sehingga kita harus kembali menggunakan tata gereja lama yaitu tahun 2014.

Salah satu yang belum diterima adalah soal tata cara pemilihan Ketua Umum yang selama ini menggunakan one man one vote, dan sekarang digunakan sistem perwakilan,” jelas Pdt. Dr. Rubin Adi Abraham didampingi Sekum Pdt. dr. Yosafat Mesakh.

Jurnalis PERWAMKI berfoto bersama Ketum – Sekum GBI

Pdt. Rubin menjelaskan secara detail proses amandemen tata gereja khususnya pasal 58 tentang proses pemilihan Ketua Umum.

“Karena dalam sidang sinode 2019 yang lalu tidak berhasil disahkan,  maka saya sebagai Ketua terpilih meminta waktu satu tahun agar BPH (Badan Pengurus Harian) yang sekarang diganti menjadi Badan Pengurus Pusat (BPP) untuk mensosialisikan apa saja butir yang akan dirubah. Tata Gereja perubahan itu kemudian disosialisasikan ke seluruh sidang Majelis Daerah (pejabat GBI, Pdt, Pdm, Pdp) di seluruh Indonesia dan luar negeri. Dan ternyata hasil sosialisasi itu ada 90 persen lebih hamba-hamba Tuhan yang setuju. Nah, karena hasilnya di atas 90 persen setuju, kemudian dibawa ke sidang Majelis Pekerja Lengkap (MPL). MPL ini adalah satu badan di bawah sinode yang merupakan perwakilan dari seluruh dunia. Sidang sinode 2019 juga memberikan mandat agar dalam sidang MPL membuat keputusan yang mengikat dan tidak bisa diganggu gugat. Setelah mendapatkan mandat penuh dari sidang sinode, maka sidang MPL bulan Agustus 2021, walaupun ada beda pendapat yang cukup panjang, akhirnya bisa disepakati bahwa GBI dalam pemilihan Ketum akan menggunakan sistem perwakilan. Dan yang memilih itu kira-kira 150 orang yang terdiri dari pemimpin inti, yakni: BPP, BPD, dan juga pendeta perwakilan daerah di seluruh Indonesia dan luar negeri. Hal ini dimaksudkan agar tidak kisruh dalam pemilihan, serta alasan dana dan tempat,” urai Pdt. Rubin Adi, yang sempat juga menyampaikan sekilas sejarah berdirinya GBI, yakni pertama kali didirikan pada 6 Oktober 1970 di kota Sukabumi, Jawa Barat, saat itu berkumpul 129 pendeta atau hamba Tuhan, tetapi yang memiliki hak pilih tidak sampai 100 orang.

Pdt. Rubin Adi mengemukakan bahwa, saat ini jumlah pejabat GBI sudah mencapai 17 ribu lebih yang tersebar di seluruh Indonesia dan luar negeri.

“Kalau ada pertemuan pun kita sudah membatasi memakai sistem perwakilan. Misalnya, Sidang Sinode Raya itu hanya boleh dihadiri oleh Pendeta penuh (Pdt) dan gembala sidang. Yang lain-lain itu tidak disarankan hadir misalnya seperti Pdm, Pdp yang tidak menggembalakan. Alasannya adalah masalah tempat, biaya dan sebagainya. Jadi mereka kumpulnya dimana? Ya didaerah masing-masing. Misalnya, Jawa Barat, DKI Jakarta dan lain sebagainya bisa berkumpul. Tetapi sekarang sudah ribuan juga di daerah, maka digilir setahun sekali. Sidang MD khusus untuk gembala atau namanya SMD khusus dan SMD umum untuk seluruh pejabat GBI. Itu sekali lagi pembatasan itu karena masalah biaya dan tempat. Dalam pertemuan terakhir dalam sidang sinode yang hadir 4 ribu lebih, dan mayoritas boleh bicara itu bisa memicu kisruh. Jadi dasar itulah yang menyebabkan adanya pergeseran yang sama sekali tidak memberangus hak-hak yang ada. Dan kalau di daerah bisa menyalurkan melalui sidang majelis daerahnya masing-masing,” urai Pdt. Rubin Adi.

Ketika ditanya mengenai rencana pemindahan Ibukota Negara, apakah kantor sinode GBI juga akan pindah ke Kalimantan Timur? “Saya pribadi dan juga banyak rekan-rekan hamba Tuhan menyambut baik pemindahan Ibukota negara. Karena Jakarta tidak menjadi pusat segala-galanya tetapi perlu diatur. Kami merundingkan apakah dengan kantor sinode GBI akan pindah ke Penajam. Jawabannya tidak. Sinode GBI tetapi di Jakarta. Kenapa? Walaupun GBI lahir di Sukabumi tapi kebanyakan orang-orangnya adalah di Jakarta dan Bandung. Contohnya kalau Gereja Kristen Minahasa di Manado, dia kan tidak perlu pindah ke Penajam, karena memang dari dulu sudah di sana. Memang kita sudah merancangkan membuat perwakilan GBI di Ibukota baru, tetapi kantor sinodenya tetap di Jakarta,” tuntas Pdt. Rubin Adi yang mengaku tidak mengambil gaji selama menjabat sebagai Ketua Umum Sinode. (DED)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*