Media Trans – Dewan Gereja Papua (West Papua Council of Churches) pada 20 Maret 2022, mengeluarkan Seruan Moral, mensikapi perkembangan kondisi yang terjadi di Tanah Papua.
Seruan moral diawali dengan kutipan ayat-ayat suci dari Alkitab.
“Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah.” (Matius 5:8).
“Tidak ada orang yang menyalakan pelita lalu menutupinya dengan tempayan atau menempatkannya di bawah tempat tidur, tetapi ia menempatkannya di atas kaki dian, supaya semua orang yang masuk ke dalam rumah dapat melihat cahayanya.” (Lukas 8:16)
Ayat dari Injil Matius 5:8 dan Injil Lukas 8:16 mendasari kami untuk kembali mengalami bersama situasi nyata, suka dan duka yang dialami jemaat yang kami gembalakan di Tanah Papua.
Memasuki pertengahan bulan Maret 2022, situasi Papua belum banyak berubah. Kami masih diselimuti situasi duka. Penderitaan, tetesan darah dan air mata umat di tanah Papua masih mengalir. Kami masih mengalami situasi seperti tahun-tahun sebelumnya di atas tanah kami sendiri, demikian rilis yang diterima redaksi.
Bertolak dari pengalaman kami dan atas dasar dari apa yang kami dengar dan lihat selama ini, kami harus menyampaikan bahwa Pemekaran Daerah Otonom Baru di Tanah Papua sebagai jalan mempercepat pemushanan Orang Papua, dan mempermudah eksploitasi sumber daya alam Papua.
Kami terus memprihatinkan trend meningkatnya jumlah migrasi orang Indonesia masuk di Tanah Papua.
Beranjak pada laporan berbagai penelitian para ahli dan hasil resmi laporan dan analisis Badan Pusat Statistik, Badan Pusat kependudukan dalam kurun waktu 59 tahun Indonesia menduduki tanah dan manusia di Tanah Papua.
Dari apa yang kami baca dan secara nyata kami alami, dari waktu ke waktu orang Papua terus semakin tersisih dan termajinalkan di atas Tanah mereka sendiri.
Migrasi penduduk Indonesia terus membanjiri Tanah Papua. Pada tahun 1971 jumlah penduduk Indonesia di Tanah Papua 36.000 jiwa dan orang Papua 887.000 jiwa. Memasuki tahun 2022, jumlah orang Papua di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) 2.300.000 orang dari total penduduk 5.770.000 orang.
Pemekaran Kabupaten Kota maupun Provinsi di Tanah Papua telah menjadi senjata ampuh pemerintah dalam melakukan politik penguasaan dan pendudukan di Tanah Papua.
Akibat pembangunan pemekaran selama 59 tahun, orang Papua secara ekonomi dan sosial budaya diambil alih dan dikuasai warga migran dari Indonesia. Mereka juga mulai masuk menguasai dalam politik parlemen dan pemerintahan di Tanah Papua.
Saat ini, dari 42 Kabupaten Kota di Tanah Papua, 14 Kabupaten telah dikuasai oleh kelompok warga migran dari Indonesia.
Sebagaimana kajian Dewan Gereja Papua pada 9 April 2021 yang berjudul Fakta di Tanah Papua: Konflik Kekerasan, Pelanggaran HAM, Kejahatan Lingkungan Hidup dan Penguasaan Tanah Papua Melalui Pengembangan Infrastruktur, pada kesempatan ini kembali kami menegaskan bahwa, Pemerintahan Presiden Joko Widodo sejak periode pertama (2014-2019) hingga pertengahan periode kedua kekuasaannya (2019-2024) menggalang berbagai program pembangunan di Tanah Papua sebagai siasat penguasaan Tanah Papua.
Pembentukan Provinsi dan Kabupaten baru (Infrastruktur Administrasi Pemerintahan atau Birokrasi Negara) merupakan satu kesatuan dari politik pendudukan dan penguasaan Tanah Papua.
Selain pembentukan Provinsi dan Kabupaten, dalam rangka penguasaan Papua, pemerintah juga semakin gencar menggalang pembangunan:
1. Jalan Trans-Papua, dermaga, bandara, dan rencana jalur kereta api (Infrastruktur Transportasi dan Logistik),
2. Penguasaan sumber daya (tanah, hutan, dan kandungan mineral), penetapan konsesi dan pemberian perizinan untuk eksploitasi sumber daya (Infrastruktur Investasi),
3. Pembentukan komando-komando militer (Kodam, Korem, Kodim, Koramil, Kogabwilhan) dan kepolisian (Polres, Polda, dll) baru, termasuk Brimob dan BIN serta pengerahan (deployment) pasukan perang (infrastruktur keamanan).
4. Mobilisasi dan perpindahan penduduk secara mandiri ke Papua, terutama ke daerah-daerah pemekaran dan sentra-sentra investasi (infrastruktur sosial/ demografi),
5. Kontrol atas data, informasi, dan komunikasi (Infrastruktur Kominfo).
Melalui Kepres No 21/2019 tentang Pembentukan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan III), Pemerintah menetapkan Papua sebagai bagian dariKomando Gabungan Wilayah Pertahanan III (Kogabwilhan Papua dan Maluku) yang berpusat di Timika.
Kogabwilhan ini beroperasi langsung di bawah Panglima TNI untuk urusan operasi pengerahan militer di Papua.
Selain pasukan tempur, Badan Intelijen Negara (BIN) juga merupakan unsur sentral dari operasi Kogabwilhan III ini. Selain itu, pusat-pusat militer baru telah dibangun dan terus dipersiapkan, seperti:
1. TNI Angkatan Darat: Kodam (Komando Daerah Militer), Korem (Komando Resort Militer), Kodim (Komando Distrik Militer), Batalyon, dan unit-unit lainnya. TNI sendiri merencanakan pendirian setidaknya 31 Kodim baru di Maluku dan Papua selama tahun 2020-2021. Berangkat dari pernyataan Panglima TNI Jend Andika Perkasa akan ada penambahan Kodim baru di wilayah Kodam Kasuari di Provinsi Papua Barat, dan Kodam Cenderawasih di Provinsi Papua”.
2. TNI Angkatan Laut: Lantamal, Koarmada (Komando Armada) III Marinir, Lantamal unit-unit lainnya.
3. TNI Angkatan Udara penambahan Pangkoopsau (Panglima Komando Operasi TNI Angkatan Udara), Lanud, Pasukan Radar, dan unit-unit lainnya.
4. Kepolisian Republik Indonesia: penambahan Polda, Polresta, Polres, Polsek hingga Pos polisi. Juga pasukan tempur Polisi, Brimob pun dimekarkan markas Brimob hingga kompi di Tanah Papua.
Selain itu, Pemerintah Indonesia juga terus menambah pasukan di Pegunungan Tengah dan Papua lainnya.
Menurut catatan kami, sejak tahun 2019, lebih dari 10 ribu pasukan TNI/Polri dari luar diterjunkan ke Papua setiap tahun.
Operasi keamanan ini berjalan beriringan dengan kontrol birokrasi oleh Kementerian Dalam Negeri, yang saat ini dipimpin oleh mantan Kapolri Jenderal Pol. Tito Karnavian.
Kebijakan Operasi Militer Negara terhadap Tanah Papua yang dimulai sejak Desember 2018 di Kabupaten Nduga, dan semakin meningkat pasca Aksi Rasisme 2019, telah menciptakan Konflik di wilayah yang distigma sebagai Daerah Rawan Konflik di 6 Kabupaten di Tanah Papua, yaitu Kabupaten Puncak Papua, Intan Jaya, Maybrat, Distrik Suru-Suru di Kabupaten Yahukimo dan Distrik Kiwirok Kabupaten Pegunungan Bintang.
Konflik kekerasan antara pemerintah Indonesia melalui TNI/Polri, yang berjuang untuk keutuhan NKRI, dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) yang berjuang mempertahankan wilayah Tanah Papua dari politik penguasaan Negara, masih terus berlangsung sampai saat ini.
Akibat dari konflik ini, sekitar 60.000 warga sipil mengungsi di wilayah terdekat termasuk ke Negara tetangga Papua New Guinea (Papua Nugini).
Kami juga menerima laporan penyiksaan, pembunuhan kilat dan penghilangan paksa yang dialami umat termasuk para hamba Tuhan di Ndugama, Intan Jaya, Pegunungan Bintang oleh personil TNI/Polri.
Beberapa fasilitas milik warga jemaat, maupun milik gereja telah diambil oleh pasukan TNI/Polri.
Kami terus menyaksikan dan meratapi sengsara dan penderitaan jemaat kami di pedalaman Papua khususnya di 6 wilayah yang telah kami sebutkan.
Dalam melihat situasi Papua yang menjadi situs kekerasan Negara, dan demi menyelamatkan umat Tuhan di Tanah Papua, ditengah masa pra Paskah, menjelang perayaan kisah sengsara, penyaliban dan kebangkitan Yesus Kristus, kami menyampaikan keprihatinan dan seruan:
1. Kami mengapresiasi surat permintaan klarifikasi kepada Pemerintah Indonesia yang disampaikan oleh para Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia dalam Bidang Penghilangan Paksa, Penyiksaan dan Pengungsian. Demikian juga surat pernyataan terbuka Dewan HAM PBB pada Februari 2022, sehubungan dengan penyiksaan kepada 7 orang anak di Kabupaten Puncak Papua.
Sebagai tindak lanjutnya, kami mendesak Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, berkunjung ke Tanah Papua supaya melakukan investigasi secara langsung, dan menyeluruh atas situasi Hak Asasi Manusia di Tanah Papua.
2. Berangkat dari pengalaman sejarah hidup bersama Indonesia selama 59 tahun (1 Mei 1963), kami menyampaikan kekecewaan, kesedihan, kemarahan kami atas sikap pemerintah Indonesia yang tidak jujur dan objektif dalam menjawab pertanyaan dari para Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia, tentang situasi Hak Asasi Manusia di Tanah Papua. Kami mengutuk sikap pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri yang terus-menerus menyangkal fakta adanya pembunuhan kilat, penyiksaan, pengungsian dan penghilangan yang dilakukan TNI/Polri, terhadap umat Tuhan di Tanah Papua khususnya fakta terakhir terlihat dalam situasi umat Tuhan di 6 wilayah konflik, Kabupaten Nduga, Puncak Papua, Intan Jaya, Maybrat, Yahukimo dan Pegunungan Bintang.
3. Kami menyampaikan keprihatinan yang mendalam dan turut berduka cita kepada keluarga 7 orang anak korban penyiksaan (1 orang meninggal dunia), yang dilakukan oleh anggota TNI di Kabupaten Puncak Papua. Turut berduka cita kepada keluarga dari 2 orang yang meninggal ditembak aparat dalam aksi demonstrasi damai di Dekai, Kabupaten Yahukimo. Kami juga menyampaikan turut berduka cita yang mendalam kepada keluarga 8 orang korban tewas yang diduga dilakukan oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB).
4. Kami mengikuti bahwa akhir-akhir ini ada upaya Negara untuk mengambil langkah-langkah resolusi konflik di Tanah Papua dengan mendorong proses pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Pengajuan berkas kasus Paniai Berdarah 2014 ke Kejaksaan Agung, dan pernyataan kesediaan untuk berdialog dengan TPNPB yang sedang diupayakan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia KOMNAS HAM) Indonesia.
5. Wacana KOMNAS HAM tentang Dialog antara OPM dan Pemerintah, menurut kami harus diawali dengan langkah-langkah berikut: (a).penarikan militer dari Tanah Papua, termasuk menghentikan penambahan pasukan yang terus-menerus didatangkan dan program petinggi TNI untuk membangun Kodim-Kodim baru.
(b). Mendesak pemerintah untuk mengembalikan pengungsi lokal yang berjumlah lebih dari 60.000 orang ke kampung-kampung mereka masing-masing.
(c). Menghentikan proses hukum terhadap Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti dan menghentikan kriminalisasi terhadap pegiat HAM lainnya di Indonesia, yang bersolidaritas dengan memperjuangkan HAM di Tanah Papua.
(d). Wacana dialog yang hendak diupayakan juga harus mendapat dukungan dari masyarakat sipil, apabila tidak, proyek dialog dari KOMNAS HAM, kami menilai sebagai cara untuk mengalihkan opini publik dari sorotan dunia internasional, terhadap pemerintah Indonesia terkait pelanggaran HAM di
Papua.
Dan kami juga menilai langkah-langkah KOMNAS HAM ini ditempuh dalam rangka politik pencitraan Negara Indonesia.
6. Kami meminta Presiden RI, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Menteri Dalam Negeri, Badan Intelijen Negara dan Komisi II DPR RI untuk menghentikan semua manuver rencana politik pemekaran 4 Provinsi Baru di Tanah Papua tanpa aspirasi rakyat Papua.
7. Kami meminta supaya Gubernur, para Bupati dan Walikota se-Tanah Papua dan berbagai kelompok kepentingan seperti pihak Universitas dan Akademisi di Indonesia dan di Papua, tokoh masyarakat Papua, Tokoh Pemuda Papua, Tokoh Perempuan, dan juga LSM yang menjalankan kepentingan agenda politik Jakarta untuk segera menghentikan semua manuver dan upaya pemekaran Provinsi di Tanah Papua.
8. Kami juga meminta kepada para Kapolda dan Pangdam untuk menghentikan segala tindakan represif kepada rakyat yang menyampaikan aspirasi penolakan Otonomi Khusus dan pemekaran Provinsi baru, seperti yang terjadi selama tahun 2021. Sekali lagi kami menyaksikan tindakan aparat TNI-POLRI yang sewenang-wenang dalam menghadapi warga sipil yang melakukan demonstrasi damai menolak pemekaran propinsi baru di Dekai, Yahukimo pada tanggal 15 Maret 2022.
Tindakan represif tersebut mengakibatkan 2 orang mati tertembak, 8 orang mengalami luka tembak; 3 orang kritis, dan 5 orang rawat jalan, 2 orang ditahan di Polres Yahukimo.
9. Untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan di Tanah Papua, kami tetap konsisten mendesak dilakukannya Dialog antara Pemerintah Indonesia dengan ULMWP (United Liberation Movement for West Papua), seperti yang telah dilakukan pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam penyelesaian konflik Aceh.
10. Kami menyampaikan terima kasih kepada semua umat dan pemimpin Gereja, Politisi, Adat, Akademisi, Media Massa di Indonesia, Melanesia, Asia, Pasifik, Australia, Aotearoa/ Selandia Baru, Uni Afrika, Karibia, Uni Eropa, Amerika Serikat yang telah menjadi Simon dari Kirene, berjalan bersama kami memikul salib Bangsa Papua.
Salib yang kami pikul masih berbeban berat, jalan yang kami lalui masih tertatih-tatih, penuh duri di tubuh kami, karena itu kami tetap membutuhkan solidaritas dan dukungan seluas-luasnya.
Demikian seruan moral ini kami keluarkan. Tuhan Yesus mengasihi kita semua.
Seruan Moral Dewan Gereja Papua, dikeluarkan di Jayapura, Papua, ditandatangani oleh :
DEWAN GEREJA PAPUA
1. Pdt. Benny Giay (Ketua Sinode Gereja KINGMI)
2. Pdt. Andrikus Mofu (Ketua Sinode GKI di Tanah Papua)
3. Pdt. Dorman Wandikbo (Presiden GIDI)
4. Pdt. Socratez S.Yoman (Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua)
Be the first to comment