Ada Upaya Framing Tendensius Dibalik Pembelian Bekas Gedung Gereja di Klaten

Media Trans – Saat masuk minggu kedua bulan suci Ramadhan 1443 H, masa umat muslim menjalankan Ibadah Puasa, jagad media sosial dikejutkan dengan munculnya pemberitaan pembelian (ex-gedung) gereja oleh komunitas mualaf, dan akan dibangun masjid.

Akun twitter @Lelaki_5uny1, pada Jumat (15 April 2022), menuliskan “Allahu Akbar. Gereja “Kerasulan Baru” di Klaten Jawa Tengah berhasil dibeli oleh Yayasan Pembina Mualaf (YPM) At-Tauhid dan akan dibangun masjid dengan nama Masjid Isa Almasih”, sebagaimana dikutip dari hajinews.id 17 April 2022.

Pasca narasi yang dihembuskan akun twitter tersebut, muncul beragam tanggapan dijagad dunia maya. Reaksi cepat dilakukan pihak pengurus Gereja Kerasulan Baru Klaten, mengklarifikasi cuitan twitter yang bernuansa framing tendensius terkait pembelian bekas gedung gereja di daerah Gentan Klaten.

Klarifikasi diadakan pada 15 April 2022, dalam forum virtual via zoom meeting. Evangelis Wahyu mewakili pihak pengurus Gereja Kerasulan Baru, menjelaskan kronologis kasus pemberitaan bernuansa framing tendensius dimaksud, sebagaimana diberitakan gatra.com 16 April 2022.

Evangelis Wahyu adalah perwakilan dari Gereja Kerasulan Baru di Klaten, yang bertransaksi dengan pembeli bekas gedung gereja. Wahyu menceritakan semua proses kronologis pembelian itu.

Tangkapan layar zoom meeting klarifikasi pihak Gereja Kerasulan Baru Klaten

“Gereja ini sebenarnya gereja lama, gereja tua. Sejak tahun 1980-an. Dalam perkembangannya, pertumbuhannya tersendat. Semakin lama tidak kelihatan berkembang. Dikarenakan tempatnya berdekatan dengan gereja induk. Jadi Gereja Gentan ini berdekatan dengan Gereja Kerasulan Baru induk, yang jaraknya sekitar 4 kilometer,” urai Wahyu.

Lebih lanjut Ev. Wahyu menjelaskan, “Banyak jemaat yang kembali ke gereja induk. Pemudanya banyak yang merantau. Apalagi ini gereja pinggiran. Gereja di Klaten, namun sudah berbatasan dengan Gunung Kidul, Jogjakarta. Anggotanya lama-kelamaan itu habis, singkat cerita, terakhir itu tinggal empat orang. Empat orang itu, yang dua merantau. Dalam kondisi demikian, setelah dievaluasi oleh pusat, akhirnya diambil keputusan untuk efisiensi pelayanan maka gereja ini ditutup,” tutur Wahyu.

“Ibadah penutupan itu dilakukan sejak sebelum pandemi. Ada ibadah khusus penutupan, dilanjutkan dengan mengangkut mebeler dan simbol-simbol yang ada di dalam,” terang Wahyu.

“Yang di luar (tanda salib) itu memang lupa. Karena tempatnya simbolnya itu di atas. Tinggi. Kita pinginnya kapan-kapan akhirnya lupa. Karena juga begini, karena aset gereja itu juga akan dijual ke gereja, kita santai-santai sajalah. Karena yang kita tawari itu ke gereja-gereja. Jadi tidak benar umatnya pindah agama. Itu juga bukan gereja, tetapi bangunan bekas gereja,” tandas Wahyu.

Wahyu menjelaskan bahwa penjualan bekas gedung gereja, ditawarkan ke komunitas kristen, termasuk pengurus-pengurus gereja.

“Kita tawarkan ke gereja-gereja sekitar. Harganya murah, karena harapannya bisa digunakan untuk pelayanan lagi. Harganya tidak saya sebutkan, karena harganya memang murah. Namun tidak ada titik temu. pemerintah desa juga menawar, namun tawarannya sangat rendah,” jelas Wahyu.

“Datang Mathias. Saya lihat KTP-nya Katholik. Karena yang menawar di depan ragu-ragu, dia yang langsung nyaplok itu. Setelah dia datang, saya diketemukan dengan seseorang namanya Pak Budi. Matias pernah menawar lebih tinggi dari yang saya tawarkan ke gereja-gereja lain, tapi saya tetap pada harga tawaran kita. Karena pikiran saya masih bersih, tanpa prasangka, akan dipakai buat pelayanan. Yang beli juga saudara seiman. KTP-nya jelas. Saya sampai bertanya, nanti gerejanya apa namanya? Dia sebut gereja Kabar Baik. Kemudian disepakati harga,” ungkap Wahyu.

“Pihak Pak Budi juga memberikan fee sejumlah uang, sepuluh juta. Yang lima juta diberikan Pak Matias, yang lima juta diberikan saya. Saya tolak. Di tempat kami tidak ada begitu Pak, kalau diberi ya kami laporkan ke gereja. Setelah saya laporkan, perintah pengurus gereja agar dimasukkan sekalian. Sehari kemudian diberi DP. Begitu cepat, sehari kemudian dilunasi,” katanya.

Wahyu saat itu senang menanggapi transaksi yang berproses cepat.

“Ya saya senang, penjualan aset itu sudah bertemu dengan pembeli yang baik, ya saya sambut saja. Akhirnya, kita ke notaris. Di sana terjadi perjanjian jual beli. Legalisasi jual beli di bawah tangan. Saya sudah plong. Kunci sudah diambil Pak Matias. Malamnya, diberitahu saudari yang jaga gereja, bahwa menurut Pak Lurah dan Pak RT, gereja itu yang beli bukan orang Kristen, tapi mualaf-mualaf Cina. Saya syok. Saya langsung lapor ke pemimpin pusat. Pak Mathias saya telepon, siapa itu yang beli gereja? Dia bilang donatur. Donatur itu siapa? Dia sebut Hanny Kristianto. Ya sudah. Terjadilah yang sudah anda ketahui semua itu,” tuntas Ev. Wahyu.

Analisis judul dan penggunaan kalimat pada overlay, indikasi framing tendensius

Dalam forum klarifikasi tersebut, ada peserta menyampaikan tanggapannya, mengatakan bahwa mencuatnya cuitan yang sekarang viral, berawal dari postingan yang dilakukan seseorang bernama Edi Prayitno, postingan tersebut dikatakan penanggap sebagai upaya framing tendensius.

Penanggap tersebut memaparkan sejumlah bukti berupa tangkapan layar, sebagai fakta adanya upaya framing tendensius, dibalik narasi pembelian bekas gedung gereja, dan penanggap tersebut mengemukakan bahwa tindakan upaya framing tersebut dapat dilaporkan sebagai tindakan pidana.

Hingga saat ini, pasca klarifikasi pihak gereja, belum diketahui tindak lanjut dari masing-masing pihak. (DED)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*