Mengkritisi Pola Interaksi Masyarakat di Media

Media Trans Forum Demokrasi mengadakan diskusi terbuka pada 20 Desember 2022 di Upnormal Cofee Roaster Raden Saleh, Jakarta Pusat.

Mengangkat tema “Dampak Big News dan Good News terhadap Pembaca”, diskusi menghadirkan Wa Ode Nurhayati (Presidium Nasional FORHATI), Sylviana Murni (Anggota DPD RI), Peri Farouk (Indonesia Dialectica), Andir Firliansyah (Presidium Nasional FABEM) serta Andy Soebjakto (Tokoh pergerakan Indonesia) sebagai narasumber.

Di awal perbincangan, Sylviana Murni mengatakan bahwa ada banyak sekali persoalan di tengah masyarakat. Apapun bentuknya, ia berharap masyarakat bisa menyampaikannya secara terbuka kepada pemerintah agar segera ditemukan solusinya.

Salah satu persoalan yang belakangan kerap dikeluhkan masyarakat adalah pemberitaan di media, baik media sosial maupun media massa.

Para narasumber lain sepakat dengan hal tersebut. Mereka memandang pemberitaan di media yang setiap hari dikonsumsi oleh masyarakat cenderung carut marut.

Berita-berita yang subjektif hingga hoax banyak bertebaran, sehingga membuat masyarakat bingung dan resah.

Salah satu yang paling berperan menciptakan situasi ini adalah rendahnya kesadaran literasi masyarakat. Orang terbiasa mencerna setiap informasi yang datang, tanpa pernah merasa perlu melakukan check and recheck.

Terlebih jika informasi tersebut dianggap sejalan dengan pendapat pribadinya.

Menurut Peri Farouk, cara penyikapan informasi seperti itu menjadi sangat riskan jika masuk ke dalam interaksi di media sosial.

Terlebih saat ini akses ke media sosial makin terbuka, seiring meningkatnya pengguna internet.

Banyak lembaga merilis tingginya akses internet bak pedang bermata dua. Di satu sisi memberi peluang kepada anggota masyarakat untuk berkembang sesuai potensi dirinya, sementara di sisi lain penggunaan untuk tujuan negatif (perjudian, pornografi, hatespeech, firnah, penipuan, dll) juga terus mengalami peningkatan.

Hal tersebut diamini oleh Andy Subjakto. Ia sangat prihatin dengan pola interaksi masyarakat di media, tak terkecuali media sosial, yang cenderung mengesampingkan etika.

“Orang hanya ingin berbicara (berargumen) hanya demi memuaskan keinginannya untuk tampil (eksis), mendapat perhatian, dan didengarkan. Tidak peduli apa imbasnya pada orang lain,” jelas Andi.

Secara sosial, jelas hal ini menjadi bibit perpecahan di masyarakat. Pembelahan sosial terjadi di masyarakat berdasar suku, etnis, agama, hingga pandangan politiknya.

Fenomena ini makin menguat menjelang tahun politik. Apalagi tiap tahun politik banyak pihak menggunakan prinsip menghalalkan semua cara agar bisa berkuasa.

Pada situasi seperti inilah peranan media sebagai agent of change sangat diperlukan masyarakat. Caranya melalui pemberitaan yang kredibel, obyektif, dan berimbang.

Kekuatan media pernah dialami sendiri oleh Wa Ode Nurhayati. Ia kemudian menuturkan bagaimana dirinya yang bukan siapa-siapa diangkat oleh media.

Akan tetapi media pula yang kemudian menjatuhkannya. Sekalipun begitu, ia mengaku sama sekali tidak alergi dengan media.

Politikus asal Sulawesi Tenggara ini hanya berharap semua media bisa lebih bijak menyikapi setiap dinamika yang terjadi.

Sebagai langkah awal penyelesaian masalah, pemberian edukasi kepada masyarakat perlu terus dilakukan. Utamanya kepada kaum muda ataupun mereka yang masih belajar di lembaga-lembaga pendidikan.

Andir Firliansyah mendesak setiap peserta didik lebih dibekali tata cara melakukan metodologi penelitian, serta penjurnalan hasil penelitian.

Supaya bila mereka masuk ke media, baik media sosial maupun media massa, bisa membawa hal-hal positif kepada masyarakat.

“30% – 50% saja pengguna media bisa melakukannya, saya optimis masyarakat kita bisa lebih baik,” timpal Andy Subjakto. (ROB)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*