Dr. Ir. Robert T. Siregar : Wilayah Zonasi Dalam Covid-19

Opini – Dalam menyikapi kejadian bencana saat ini yang disebut dengan Virus Corona secara dunia terkena, maka mengkaji secara ilmiah rincian semua kekayaan atau sumber daya fisik maupun non fisik pada area atau wilayah tertentu sehingga dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi kekuatan tertentu. Menurut WHO (World Health Organization), kesehatan lingkungan adalah suatu keseimbangan ekologi yang harus tercipta diantara manusia dengan lingkungannya agar bisa menjamin keadaan sehat dari manusia.

Tujuan kesehatan lingkungan adalah memperkecil kemungkinan terjadinya bahaya dari lingkungan terhadap kesehatan serta kesejahteraan hidup manusia; mencegah dan mengefisiensikan pengaturan berbagai sumber lingkungan untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan hidup manusia sehingga terhindar dari penyakit karena lingkungan yang tidak sehat. Regulasi Nasional juga mengaturnya dalam  Pasal 22 ayat 3 UU No 23 tahun 1992 , ruang lingkup kesehatan lingkungan mencakup; 1.Penyehatan air dan udara; 2.Pengamanan limbah padat/sampah;3.Pengamanan limbah cair; 4.Pengamanan limbah gas; 5.  Pengamanan radiasi; 6.Pengamanan kebisingan; 7. Pengamanan vektor penyakit; dan 8. Penyehatan dan pengamanan lainnya, seperti keadaan pasca bencana.

Dalam istilah keruangan wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis dan seluruh unsur terkait di   dalamnya, batas sistemnya bedasarkan aspek administrative (pp) dan fungsional. Aspek Administratif yang dilakukan dalam menyikapi kebijakan “Lockdown” dilakukan sebuah peraturan pemerintah yang mengatur batas-batas wilayah atau daerah dari sisi kewenangan untuk memerintah di suatu daerah. Sedangkan Aspek Fungsional yaitu upaya manusia untuk membatasi wilayah berdasarkan kepentingan sperti : kawasan lindung, budidaya, perkotaan, dan pedesaan.

Sejalan denga hal tersebut maka ilmu kewilayahan yang digunakan dalam menyikapi kebijakan “Lockdown” saat ini adalah dengan melakukan kematangan tahapan : Pemetaan Zonasi terdampak secara sederhana dilakukan melalui : Identifikasi dan karakterisasi penyebaran virus dari data, Evaluasi kesesuaian tingkatan penyebaran virus, Identifikasi potensi pergerakan atau penyebaran virus saat ini melalui informasi akurat.

Kegiatan pemetaan zonasi penyebaran virus yang dimiliki dapat dilaksanakan melalui penelaahan data sekunder, verifikasi lapangan, penelitian laboratorium sampai sistem penyajianya baik melalui peta hardcopy maupun berbasis website (WebGIS). Teknologi Penginderaan Jauh (Inderaja, Remote Sensing) dan Sistem Informasi Geografis (GIS) memungkinkan proses analisis dan penyusunan Zonasi sampai penyajianya bisa dilakukan dengan lebih cepat, akurat dan menampilkanya secara online. Untuk itu dapat dilakukan a. Menyediakan Informasi Tentang Penyebaran virus secara update dimana SIG dapat dimanfaatkan untuk mengevaluasi kualitas, efektifitas, dan aksebilitas layanan penanganan penyebaran virus bagi kesehatan di masyarakat seperti keberadaan rumah sakit dan puskemas. Selai itu SIG juga dapat menyediakan data potensi tiap daerah serta karakteristik demografis masyarakatnya, sehingga dapat dievaluasi kesesuaian antara jumlah masyarakat dengan sarana pelayanan kesehatan yang ada. Contoh integrasi SIG dalam bidang kesehatan dapat dilihat pada situs gis.depkes.go.id. 2. Mengawasi dan Menganalisis Penyebaran Virus yang tinggi, SIG mampu mengidentifikasi kemana kemungkinan penyakit selanjutnya akan menyebar. Sehingga suatu wilayah dapat bersiap dan mengurangi resiko terdampak penyakit tersebut. Situs penyedia layanan ini misalnya healthmap.org atau nccd.cdc.gov milik Amerika Serikat, serta dari situs resmi WHO. 3. Menginvestigasi Masalah serta Resiko penyebaran virus yang tanggap darurat di Masyarakat dimana SIG dapat digunakan untuk memberikan data mengenai penyebaran limbah perusahaan yang berdampak pada jumlah terpapar covid 19 di masyarakat. Selain itu, SIG juga dapat digunakan untuk menyajikan data polusi udara, data penguraian cahaya dan penyebarannya. 4. Memonitor Status Kesehatan Masyarakat Memetakan kelompok masyarakat di suatu wilayah berdasarkan status kesehatan tertentu, misalnya status kehamilan atau status gizi buruk. Dengan SIG, peta status kesehatan dapat digunakan untuk perencanaan program penanganan cepat bagi penanggulangan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat di wilayah tersebut. Misalnya Peta Sebaran Terpapar. 5. Membantu Menanggulangi Terpapar Virus, dengan membantu masyarakat pada masa pemulihan pasca selesainya musibah penyebaran virus. Misalnya, mengidentifikasi populasi rentan pasca penyebaran virus. 6. Menyediakan Informasi Tentang Aksebilitas dan Dampak social dan ekonomi , dimana menggambarkan dampak akibat penyebaran virus pada daerah dengan model cluster untuk penanganan social dan ekonomi di suatu wilayah.

Dengan adanya tahapan tersebut diatas yang di mungkinkan dalam penanganan kebijakan “Lockdown” perwilayahan, maka system zonasi dengan tingkatan kawasan yang dikenal dalam ilmu kewilayahan Kawasan peri-urban muncul sebagai zona transisi antara kota dengan desa. Dorongan perkembangan di perkotaan yang berciri padat terbangun dan desakan keeksistensian pedesaan yang lebih bercirikan sektor pertanian menjadikan keberadaan wilayah peri- urban sebagai salah satu tipe wilayah yang perlu diperhitungkan. Karena melihat perkembangan penyebaran virus ini lebih banyak di wilayah perkotaan.

Pergerakan manusia secara aktivitas lebih tinggi di wilayah perkotaan, maka konsep “peri-urban” dapat diadopsi dalam  proses kebijakan “lockdown” agar dampak social dan ekonominya juga tidak menjadi masalah nantinya pasca bencana covid-19. Dengan jangkauan perkembangan yang hanya pada batas tertentu, akhirnya membuat suatu wilayah seperti mengalami transisi dari kota menuju ke desa. Sehingga kebijakan pelarangan “mudik” tahun 2020 dimana Kota sebagai urban core-nya sudah semstinya dapat di laksanakan.

Analisis wilayah dapat juga dilihat, perkembangan wilayah peri-urban terjadi transformasi bukan hanya pada aspek fisik saja. Melainkan juga pada aspek sosial ekonominya. Transformasi fisik, sosial, dan ekonomi yang terjadi pada saat ini penyebaran virus eksternal dari urbancore, Lebih tegas melalui analisis dari ketiga aspek, yang meliputi faktor-faktor: peergerakan manusia, sarana kesehatan, sarana umum, sarana pendidikan, kepadatan penduduk, kualitas SDM, angka kelahiran dan kematian, rasio beban tanggungan, heterogenitas, kesejahteraan keluarga, dan mata pencaharian.

Di sisi lain, pengklasifikasian yang dilakukan ternyata mampu menjelaskan jangkauan pengaruh aktivitas perkotaaan, dimana pengaruh yang ada hanya sampai batas zona peri-urban sekunder dengan menempatkan wilayah hinterland yaitu wilayah yang dekat kota perlu dilakukan pembatasan pergerakan menuju desa, dan di wilayah perkotaan sudah sangat harus dilakukan batasan pergerakan apakah melalui buka tutup atau tutup sekaligus. Hal ini dapat membuktikan bahwa, transformasi fisik, sosial, dan ekonomi di wilayah terpapar virus dengan kebijakan “lockdown” akan berdampak kedepannya, namun demi keselamatan manusis Indonesia, kebijakan “lockdown” bertingkat sudah harus dilakukan. Semoga Negara Kita bisa melalui musibah ini dengan tingkat terpapar yang tidak besar. Tuhan Menyertai kita. (Dosen di Sumatera UtaraDED)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*