Media Trans – Buntut panjang kasus Bupati Langkat non aktif Terbit Rencana Perangin-angin, yang ditangkap tangan kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 18 Januari 2022, mengungkapkan juga masalah lain yakni adanya ruangan serupa sel tahanan.
Penggiat ketenagakerjaan Timbul Siregar, kepada mediatransformasi.com, menyampaikan pandangan pribadinya tentang kasus yang menimpa Bupati Langkat non aktif Terbit Rencana Perangin-angin.
Timbul menyoroti keberadaan serupa sel tahanan yang ditemukan dirumah Bupati Langkat non aktif Terbit Rencana Perangin-angin, yang saat ini turut ditangani juga oleh Komisi Nasional HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Hingga saat ini Komnas HAM, LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), serta Polda Sumatera Utara terus melakukan investigasi soal kerangkeng manusia yang ditemukan di rumah Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin Angin. Dari investigasi itu, polisi, Komnas HAM hingga LPSK mendapat sejumlah temuan, salah satunya laporan ada yang tewas saat dikerangkeng.
Adapun LPSK memberi kesimpulan sementara adanya penahanan ilegal. Salah satu temuan yang diungkap LPSK adalah para penghuni tersebut diduga dipekerjakan tanpa dibayar. Para penghuni ini diduga kuat dipekerjakan di pabrik Kelapa Sawit milik Bupati nonaktif.
Temuan sementara LPSK tentang penghuni yang diduga kuat dipekerjakan di pabrik Kelapa Sawit tanpa dibayar, harus dijadikan momentum untuk mengungkap kasus-kasus lainnya, yaitu perlakuan terhadap pekerja di perkebunan kelapa sawit termasuk di pabrik kelapa sawit. Momentum ini diharapkan direspon oleh Komisi IX DPR RI.
Selama ini pelanggaran hak-hak buruh di area perkebunan dan pabrik kelapa sawit tampak secara kasat mata terus terjadi, seperti status hubungan kerja yang didominasi oleh pekerja harian lepas (PHL) baik dengan kontrak kerja bertahun-tahun maupun tanpa kontra kerja, upah yang dibayar di bawah ketentuan upah minimum yang berlaku, rendanya pelaksanaan K3 dan APD (alat pelindung diri) sebagai upaya preventif di tempat kerja, serta tidak didaftarkannya pekerja di BPJS Ketenagakerjaan maupun di BPJS Kesehatan.
Demikian juga, Penyakit Akibat Kerja (PAK) menjadi ancaman bagi pekerja paska bekerja di area perkebunan kelapa sawit termasuk di pabrik kelapa sawit.
Para PHL biasa bekerja di bidang perawatan, pemupukan, penyemportan insektisida, dan pembrondol, banyak bersinggungan dengan pestisida, yang juga berpotensi mempengaruhi kesehatan reproduksi buruh perempuan. Dengan kondisi kerja tersebut, dan bekerja dengan APD seadanya atau tanpa APD, serta masih banyaknya PHL yang belum didaftarkan di BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan, membuat PHL menjadi sangat rentan mengalami kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja.
Kondisi ini terus terjadi hingga saat ini. Kementerian Ketenagakerjaan cq. Pengawas Ketenagakerjaan belum mampu memperbaiki kondisi kerja dan terpenuhinya hak-hak normatif pekerja perkebunan.
Kendala lokasi perkebunan yang sangat jauh dari pemukiman masyarakat umum, rendahnya kemauan pengawas ketenagakerjaan melakukan pengawasan hingga ke lokasi kerja, masih banyaknya pengusaha perkebunan sawit yang “berteman” dengan para penguasa, termasuk penguasa yang menjadi pengusaha sawit, dsb, menjadi sebab terus terjadinya pelanggaran hak-hak normative pekerja perkebunan sawit hingga saat ini.
Oleh karena itu, saya menilai sudah saatnya Komisi IX DPR RI memanggil Menteri Ketenagakerjaan untuk menjelaskan semua masalah yang terjadi di perkebunan sawit secara umum, termasuk menindaklanjuti temuan LPSK di rumah Bupati nonaktif yaitu adanya pekerja yang dipekerjakan tanpa dibayar dan dikerangkeng.
Dan untuk memastikan persoalan ini lebih sistematis dalam penyelesaian nantinya adalah baik bila Komisi IX DPR RI juga membentuk Panitia Kerja (Panja) atas persoalan pekerja di perkebunan sawit, termasuk kasus di rumah Bupati Langkat Nonaktif.
Semoga kasus di Langkat menjadi momentum untuk perbaikan pelaksanaan hak-hak pekerja di perkebunan sawit, pungkas Timbul. (DED)
Be the first to comment