Media Trans – Masyarakat Adat menjadi salah satu pihak yang harus digandeng dalam kebijakan penyelamatan hutan. Hal tersebut termuat dalam dokumen ‘Joint statement: Tropical Forest and Climate Action Cooperation’, sebuah dokumen perjanjian tiga negara, Indonesia, Brasil dan Kongo dalam menyelamatkan hutan tropis.
Aliansi trilateral ini berkomitmen untuk melakukan kerja sama aksi iklim, dan perlindungan hutan, setelah melalui berbagai diskusi yang panjang dalam 10 tahun terakhir.
Masyarakat Adat memiliki peranan strategis dalam penyelamatan hutan, karena alam adalah bagian tak terpisahkan dalam kehidupan mereka. Dalam praktik keseharian, alam merupakan sumber kehidupan di mana roda perekonomian Masyarakat Adat, juga disumbang dari lingkungan sekitar mereka.
“Saya mengapresiasi komitmen pemerintah melakukan berbagai inisiatif terkait perubahan iklim sebagai sebuah langkah maju. Salah satunya adalah komitmen bersama antara tiga negara yaitu Indonesia, Brasil dan Kongo. Namun, dalam pelaksanaannya perlu konsistensi dan evaluasi atas implementasi komitmen tersebut, karena sering kali terjadi paradoks karena legislasi yang justru anti lingkungan dan anti demokrasi, sehingga bertentangan dengan komitmen verbal di ruang publik. Akibatnya, yang sering dirugikan adalah Masyarakat Adat itu sendiri. Negara masih gagal dalam memberikan tempat yang protektif bagi Masyarakat Adat yang hidup dan ruang kehidupannya bergantung dari alam,” kata Herlambang Perdana Wiratraman, Dosen Hukum Tata Negara dan Hak Asasi Manusia dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
Herlambang menekankan untuk menghormati dan melindungi Masyarakat Adat yang berkontribusi dalam penjagaan hutan dan alam, yang perlu dipastikan adalah mereka mendapatkan hak hukumnya.
“Masyarakat Adat membutuhkan payung pelindung hukum yaitu RUU Penghormatan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat. Sehingga, RUU yang sedang diperjuangkan ini agar bisa segera disahkan. Tujuannya supaya Masyarakat Adat bisa lebih terlindungi dari segi hak-hak asasinya. Pemerintah perlu diingatkan kembali bahwa ada kewajiban konstitusional pada Masyarakat Adat melalui Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18B ayat (2) dan 28I Ayat 3 tentang Pengakuan Hak Masyarakat Hukum Adat (masyarakat tradisional) untuk dihormati identitas budayanya,” jelasnya lebih lanjut.
Perlindungan Hukum bagi Masyarakat Adat
Pengalaman baik dari masyarakat dalam menjaga hutan merupakan upaya yang perlu didukung oleh berbagai pihak, khususnya pemerintah. Karena hingga saat ini keberadaan mereka justru terancam akibat banyaknya penjarahan sumber daya alam dan alih fungsi hutan yang menyingkirkan hak-hak mereka.
Perhelatan akbar Kongres Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) ke-VI pada 24 – 30 Oktober 2022 di Jayapura, Papua yang dihadiri oleh sekitar 4.000 orang Masyarakat Adat, berhasil mengeluarkan resolusi dan maklumat terkait dengan hak-hak dan perlindungan Masyarakat Adat yang masih belum terwujud.
Salah satu caranya, memperkuat organisasi Masyarakat Adat menjadi organisasi yang inklusif dan tanggap terhadap situasi politik hukum nasional dan daerah.
Masyarakat adat menjalankan fungsi penjaga alam terbaik, sehingga sudah sepatutnya mereka mendapat perlindungan dari berbagai pihak.
Salah satu agenda utama dalam Kongres adalah mendorong pengesahan RUU Masyarakat Adat yang sesuai dengan aspirasi Masyarakat Adat.
Mina Setra, Deputi IV Sekjen AMAN menyatakan bahwa Masyarakat Adat membutuhkan dukungan kuat dalam berbagai bentuk dari publik dan media massa untuk menyuarakan pentingnya pengesahan RUU ini.
Secara umum, oleh publik, isu Masyarakat Adat identik dengan konflik tanah, demonstrasi, kriminalisasi dan sebagainya. Padahal, Masyarakat Adat memiliki kontribusi penting dalam kehidupan masyarakat perkotaan.
“Bagi Masyarakat Adat, menjaga wilayah adat juga berarti menjaga keseimbangan alam. Selain itu, banyak bahan pangan yang dibutuhkan oleh masyarakat perkotaan, seperti beras dan hasil bumi lainnya, dihasilkan oleh Masyarakat Adat. Masyarakat Adat juga merupakan sumber dari identitas budaya bangsa Indonesia. Untuk mempertahankan semua itu, diperlukan perlindungan oleh negara dalam bentuk Undang-Undang khusus tentang Masyarakat Adat,” tambah Mina.
Naomi Marasian Direktur Eksekutif Perkumpulan Terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Papua juga menegaskan pentingnya menjaga alam bersama-sama Masyarakat Adat.
Naomi menekankan
Masyarakat Adat adalah penjaga alam dan keberlangsungan hidup semua makhluk yang cukup teruji, yang bisa membendung perubahan iklim ekstrim yang melanda dan dialami oleh banyak tempat di dunia saat ini.
Sehingga sudah sepantasnya mereka mendapat payung kepastian hukum untuk melindungi eksistensi mereka sebagai bentuk komitmen dan keberpihakan negara.
“Bagi Masyarakat Adat, tanah adalah hidup mereka serta bagian dari identitas mereka, yang dimiliki dan dikelola menurut tradisi turun-temurun dari nenek moyang mereka. Tanah dan hutan dan sumber daya alam hanya boleh dimanfaatkan secukupnya, namun tidak untuk dieksploitasi secara berlebihan apalagi diperjualbelikan. Tanah diibaratkan sebagai ibu, dan hutan sebagai nutrisi yang dihasilkannya, yang menjamin kelangsungan hidup mereka,” ungkap Naomi.
Naomi menjelaskan selama ini hukum adat memadai, untuk mengatur interaksi antar mereka sendiri dengan adanya larangan untuk mengambil hak orang lain, larangan berburu di tanah orang lain, dan penetapan wilayah terlarang sebagai tempat keramat yang bernilai sejarah dan religius berkaitan dengan kepercayaan masyarakat setempat.
“Mereka membutuhkan dukungan yang lebih kuat untuk melestarikan sumber daya alam di daerah mereka dalam menghadapi korporasi besar yang berlindung di balik negara. Padahal sebagai bagian dari rakyat Indonesia, mereka yang memberikan mandat kepada pemerintah untuk penyelenggaraan negara,” tambahnya.
Peran Perempuan Adat dalam Menjaga Alam
Salah satu kelompok Masyarakat Adat, khususnya di Papua yang berperan penting dalam menjaga alam adalah kelompok perempuan.
Beberapa tokoh perempuan adat mulai tampil dan menyampaikan gagasan mereka di tengah masyarakat adat yang umumnya sangat patriarki.
Elvira Rumkabu, akademisi dan aktivis dari Koalisi Kampus untuk Demokrasi Papua menyampaikan bahwa kaum perempuan di Papua punya andil yang besar dalam pengelolaan dan konservasi alam sesuai dengan kearifan lokal.
“Dalam praktek tradisi Sasi, di mana ditetapkan larangan mengambil hasil laut tertentu atau di suatu wilayah tertentu dalam suatu periode, perempuan berperan, meskipun keputusan diambil secara bersama,” kata Elvira.
Selain itu, Elvira juga menambahkan terdapat gerakan resistensi simbolik yang memadukan adat dan agama dalam bentuk penancapan Salib Merah di Boven Digoel, di mana masyarakat bekerja sama dengan gereja melakukan pembatasan-pembatasan eksploitasi hutan dengan cara memasang salib-salib berwarna merah sebagai palang pembatas wilayah-wilayah yang pohon-pohonnya tidak boleh ditebang dalam periode waktu tertentu.
“Kaum perempuan Papua tidak memiliki hak kepemilikan tanah, karena hak tersebut ada kaum laki-laki menurut tradisi. Namun perempuan adat di Papua yang memegang hak pengelolaan hasil-hasil hutan selama ini. Di Boven Digoel, mereka yang memegang pengetahuan tanaman-tanaman obat hasil hutan, cara pemanfaatan pohon, contohnya pembuatan noken, tas rajut tradisional yang terbuat dari serat kulit pohon melinjo, di mana sisa ampas kulit kayunya dimanfaatkan untuk kayu bakar,” jelas Elvira.
Elvira menambahkan, beberapa tradisi maupun kearifan lokal menjadi lebih sulit ditransmisikan kepada generasi mudanya. Pasalnya, setelah bersekolah, banyak dari mereka memilih merantau ke perkotaan sehingga kampung mereka menjadi rentan terhadap penggusuran dan perampasan tanah, yang tinggal hanya kelompok rentan seperti kaum perempuan, anak-anak, lansia dan penyandang disabilitas.
“Kaum perempuan adat yang akhirnya melakukan perlawanan terhadap korporasi besar untuk mempertahankan tanah adat mereka”, kata Elvira.
Banyak kemudian ibu-ibu dari Masyarakat Adat ini yang akhirnya berdemonstrasi melawan perampasan lahan.
Menurut Mina Setra, beberapa tahun terakhir, muncul ‘Gerakan Pulang Kampung’, yakni suatu gerakan untuk memanggil generasi muda Masyarakat Adat yang berada di perkotaan untuk kembali ke komunitasnya, untuk melindungi dan mengelola wilayah adat mereka.
Banyak yang kemudian terpanggil untuk kembali ke kampung halaman mereka, memulai berbagai inisiatif, dari membentuk Sekolah Adat, membangun sanggar-sanggar budaya, membangun kebun, mengelola wisata berbasis pertanian dan wilayah adat, dan lain sebagainya.
Mereka juga memanfaatkan sosial media untuk memperkenalkan Masyarakat Adat dan kearifan lokal mereka pada khalayak yang lebih luas.
“Generasi muda di masyarakat adat akan menjadi agen perubahan dan pemimpin di masa depan. Pemerintah, CSO, akademisi, dari generasi muda masyarakat adat harus berkolaborasi untuk menciptakan ruang-ruang publik yang lebih luas bagi mereka untuk menjaga kelestarian alam, kearifan lokal, tradisi dan adat istiadat mereka. Upaya ini membutuhkan dukungan terbesar dari Pemerintah dengan mengesahkan RUU Masyarakat Adat,” tandas Mina. (DED)
Be the first to comment