Penyidik Polda Metro jaya Tidak Cermat Dalam Penanganan Kasus David Yulianto

Media Trans – Akhir-akhir ini publik Indonesia dihebohkan dengan adanya aksi salah satu oknum yang menodongkan seorang sopir online dengan pistol alias senjata api (Senpi).

Diketahui tindakan yang tidak terpuji itu terjadi, dilatarbelakangi oleh serempetan jalan antara pelaku dan korban, pada saat korban pindah jalur dari jalan tol.

Oknum yang diketahui bernama David Yulianto, marah-marah mengeluarkan kata makian, menodongkan pistol, dan juga melakukan pemukulan beberapa kali terhadap diri korban.

Dalam case tersebut penyidik Polda Metro Jaya, melihat case ini tidak cermat, sehingga bagi hemat Penulis, ada beberapa hal yang kurang dalam penanganan perkara tersebut, tentu ini logika hukum yang prematur.

Sebut saja terjadi kekeliruan dalam penerapan Pasal. Kekeliruan itu dapat dijumpai dalam penerapan Pasal terhadap case ini, sebagai informasi bahwa penyidik menggunakan Pasal 352 KUHP jo Pasal 335 KUHP, dan Pasal 1 ayat (1) UU Darurat No. 12 Tahun 1951.

Akan tetapi perlu diingat bahwa, untuk membangun suatu konstruksi pasal dalam merumuskan suatu delik hukum, fakta menduduki posisi yang begitu amat penting, apalagi dalam case pidana.

Sementara fakta menunjukan seharusnya ada Pasal lain, yang wajib ditambahkan oleh penyidik Polda Metro Jaya kaitannya dengan case ini.

Mengenai penerapan pasal yang digunakan penyidik Polda Metro Jaya, untuk menetapkan David Yulianto si koboi jalanan sebagai tersangka, sebagaimana disebutkan pada paragraf sebelumnya, memang patut disadari bahwa penyidik sama sekali tidaklah cermat atau keliru dalam menerapkan Pasal terhadap case tersebut.

Kita tentu mengetahui Pasal 352 KUHP itu delictsbestanddelen’nya adalah soal penganiayaan ringan, sementara Pasal 335 KUHP, delictsbestanddelen’nya adalah berkaitan dengan perbuatan tidak menyenangkan/pemaksaan dengan kekerasan atau ancaman sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 1/PUU-XI/2013, serta Pasal 1 ayat (1) UU Darurat delictsbestanddelen’nya adalah Kepemilikan Senjata Api tanpa izin.

Perlu untuk kita ketahui bahwa Hukum Pidana, mencari dan menemukan kebenaran materiil, atau kebenaran yang sebenarnya.

Tegasnya kebenaran dalam hukum pidana itu didapatkan pada fakta-fakta yang kemudian terjadi.

Menurut hemat Penulis, harusnya dalam case ini ditearapkan pula Pasal mengenai pemalsuan, kenapa harus demikian karena fakta menunjukan bahwa pemalsuan terjadi yakni Pelat Dinas Palsu yang digunakan oleh Pelaku pada unit kendaraan roda empat Mazda tersebut.

Dalam konteks pidana ini adalah merupakan suatu Dolus kesengajaan sebagai maksud, untuk melakukan suatu tindak pidana, lebih lanjut dalam Kesengajaan itu mensyaratkan dua hal prinsip Wittens and Willens mengetahui dan menghendaki.

Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa Pelaku menyadari bahwa nopol dinas palsu yang digunakan adalah tidak sesuai dengan Nopol yang sebenarnya, namun Pelaku menghendaki perbuatan itu terjadi. Oleh sebab itu terlihat jelas yang harusnya dimasukan untuk melengkapi Pasal-Pasal yang telah dterapkan dalam case ini adalah Pasal 263 KUHP, dimana delictsbestanddelen’nya ialah berbicara mengenai dengan Pemalsuan Surat.

Logika hukumnya Pertama: Kaitannya dengan surat-surat kendaraan berupa BPKB maupun STNK, yang sebenarnya bukan merupakan Surat asli dari pada Unit yang hendak dibawa Pelaku David Yulianto.

Kedua, kaitannya dengan fakta yang terjadi, jelas pelaku mengakui bahwa itu adalah nopol palsu dan bukan asli. Artinya murni perbuatan itu dilakukan dengan sengaja, sebagaimana Penulis utarakan dalam paragraf sebelumnya. Sehingga kebenaran materiil yang dimaksud penulis kaitannya dengan case tersebut kebenaran yang diperoleh dari fakta-fakta ada.

Merujuk pada fakta-fakta tersebut bagi penulis, penyidik Polda Metro Jaya, keliru atau kurang memahami secara komprehensif ataupun bisa dikatakan sengaja tidak memasukan Pasal Pemalsuan tersebut kedalam case ini. Kenapa Penulis katakana sdemikian, karena berdasarkan hasil penyidikan (Jakarta Kompas.TV 5/5/2023). keterangan yang diperoleh dari pelaku bahwa ia membeli senjata api jenis air soft gun tersebut seharga Rp. 3,5 juta sekitar April atau Mei 2022, dari seorang yang berinisial E, maka simpel saja kini pertanyanannya, bahwa Apakah si E ini memiliki kewenangan yang diberikan oleh UU untuk melakukan jual-beli senjata api? Begitu pula Nopol tersebut diperoleh dari subjek yang sama, dan itu bukan Nopol Asli Unit Kendaraan yang dibawa Pelaku David Yulianto, maka muncullah pertanyaan yang sama Apakah si E ini memiliki kewenangan yang diberikan oleh UU untuk mebuat serta mengeluarkan Nopol pada sebuah kendaraan?

Kedua pertanyaan ini tentu menjadi renungan kita bersama menunggu babak berikut perkara ini.

Artinya penulis ingin menyampaikan bahwasanya sebagai aparat penegak hukum, penyidik Polda Metro Jaya mempunyai kewajiban sebagaimana daimaksud dalam UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana untuk membuat terang suatu Perkara, dan Mengungkap siapa Tersangkanya, yang dalam hal ini kita kenal dengan istilah Penyelidikan dan Penyidikan. Oleh karena itu bukan hanya sebatas Tersangka David Yulianto, akan tetapi kita menunggu babak selanjutnya, yaitu si orang yang berinisial E ini, karena jelas ini Perbuatan Pidana yang bagi hemat penulis pelakunya lebih dari satu orang. Dalam konteks teori ini kenal dengan istilah deelneming, atau Penyertaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 KUHP.

Menjadi ketegasan penulis dalam tulisan ini bahwa, penulis secara pribadi tidak bermaksud menyinggung atau mendeskreditkan pihak-pihak tertentu dalam tulisan ini, namun dari kacamata objektif Penulis sebagai orang yang berlatarbelakang Pendidikan tinggi hukum, hanya memberikan pandangan hukum yang kurang lebih sepanjang dan sependek pengetahuan hukum penulis.

Akhir kata “Supremasi Hukum Indonesia harus Dijunjung Tinggi” tentu dengan prinsip Equality before the Law. (Penulis Imanuel R. Balak, SH/ROB)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*