
Media Trans – Perkembangan teknologi kecerdasan buatan, artificial intelligent (AI) menjadi pembahasan serius sejumlah tokoh, termasuk para “pencipta” AI itu sendiri.
Pembahasan dimaksud terkait dengan adanya ancaman serius dari perkembangan AI ke depannya.
CEO OpenAI, Sam Altman, turut menandatangani pernyataan soal “pengurangan risiko kepunahan akibat AI harus jadi prioritas dunia,” karena dinilai sejajar dengan risiko perang nuklir atau pandemi.
Lebih 350 peneliti, eksekutif, pakar dan tokoh AI menandatangani sebuah pernyataan satu kalimat yang dirilis pada Selasa (30/05) oleh lembaga non-profit Center for AI Safety (CAIS).
Surat pernyataan itu dirilis bertepatan dengan pertemuan Konsil Perdagangan dan Tekniolgi Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) di Swedia, di mana para politisi dan tokoh-tokoh teknologi diharapkan mendiskusikan potensi dan regulasi AI.
“Godfathers of AI” Beri Peringatan Ancaman AI
Dua dari tiga tokoh yang disebut-sebut sebagai “Godfathers AI“, yang memenangkan Turing Award tahun 2018 atas karyanya di bidang pembelajaran mendalam, yakni Geoffrey Hinton dan Yoshua Bengio, berada dalam papan atas penandatangan,
Godfathers of AI”, ketiga, Yann LeCun, pihak Meta (perusahaan induk Facebook besutan Mark Zuckerberg) tidak ikut menandatangani.
CEO DeepMind milik Google, Demis Hassasbis dan CEO OpenAI (perusahaan pemilik ChatGPT chatbot) Sam Altman, berada di daftar selanjutnya, diikuti oleh CEO perusahaan AI Anthropic, Dario Amodei, demikian rilis dari dw.com pada 30 Mei 2023.
Prasetiya Mulya Prihatin AI Bidang Pendidikan
Keprihatinan terhadap perkembangan teknologi AI, diungkapkan Universitas Prasetiya Mulya dalam forum Teachers Gathering 2023, yang dilakukan pada 19 Mei 2023 di Jakarta.
Pesatnya perkembangan teknologi generasi 4.0, yang salah satunya ditandai dengan kehadiran sistem kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), menimbulkan kekhawatiran di berbagai bidang. Di pasar tenaga kerja, misalnya, ada kekhawatiran industri 4.0 akan menurunkan bahkan menghilangkan permintaan beberapa jenis pekerjaan karena tergantikan oleh mesin maupun AI.
Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, dalam kajian terbarunya, menyatakan ada potensi 23 juta orang terancam kehilangan pekerjaan pada 2030 sebagai dampak dari perkembangan teknologi dan digitalisasi.
Karakteristik pekerjaan yang terancam, dalam kajian Kadin, antara lain pekerjaan yang terstandarisasi, dapat dilakukan dengan bantuan teknologi, tingkat risiko kecelakaan kerja tinggi, serta pekerjaan yang kurang fleksibel.
Kondisi ini perlu disikapi dengan adanya upaya pengembangan keterampilan serta kompetensi baru agar pekerja dapat mengikuti perkembangan zaman.
Karena itulah, sektor pendidikan memiliki peran penting dalam menyiapkan generasi yang mampu mengikuti perkembangan teknologi dan kebutuhan zaman.
Di sisi lain, bidang pendidikan juga menghadapi ancaman dengan adanya kehadiran kecerdasan buatan.
“Ada kekhawatiran, pada suatu saat nanti, kecerdasan buatan akan menggantikan peran guru atau dosen,” kata Dekan Sekolah STEM Universitas Prasetiya Mulya, Dr. Stevanus Wisnu Wijaya, dalam acara Teachers Gathering 2023 yang diadakan Universitas Prasetiya Mulya (Prasmul) di Hotel The Westin Jakarta, demikian keterangan media disampaikan Contentro PR Prasetiya Mulya.
“Namun, kekhawatiran itu bisa disikapi secara positif. Kehadiran AI jangan dilihat sebagai sebuah ancaman, justru sebagai sebuah kesempatan untuk mendukung proses pendidikan” lanjut Stevanus.
Salah satu manfaat kecerdasan buatan dalam dunia pendidikan, kata Wisnu, adalah dengan menjadikan AI sebagai sumber pengetahuan untuk membangun inovasi baru.
Jika dimanfaatkan dengan baik, ia melanjutkan, AI bisa menghadirkan pengalaman belajar yang lebih baik dan menarik bagi siswa. Dengan demikian, para siswa akan terdorong untuk menjadi lebih kreatif yang pada akhirnya bisa turut berperan dalam perkembangan teknologi itu sendiri, dengan menjadi co-creator dan inovator teknologi-teknologi baru.
Bagi guru, Stevanus menjelaskan, AI sangat potensial dimanfaatkan sebagai alat untuk menganalisis data.
Dengan kemampuan kecerdasan buatan yang terus berkembang, para guru bisa menggunakan hasil analisis tersebut untuk membuat pemetaan minat dan bakat para siswa, hingga merancang model pembelajaran yang lebih menarik dan menyenangkan.
“Kehadiran AI akan mendorong banyak inovasi di bidang pendidikan.”
Dalam acara yang sama, Dekan Sekolah Hukum dan Studi Internasional Prasmul, Dr. Noer Hassan Wirajuda, mengatakan, para pendidik juga harus peka dalam melihat tren dalam proses pembelajaran.
Baru-baru ini, Pusat Studi Kebangsaaan Indonesia Universitas Prasetiya Mulya melakukan survei terhadap 1.600 mahasiswa dari seluruh Indonesia untuk mengetahui cara belajar dan bagaimana mereka mendapatkan pengetahuan.
“Dari survei itu terungkap, para siswa belajar melalui internet dan media sosial. Sisanya, sebanyak 26 persen menjawab belajar dari kelas, dan 16 persen lainnya belajar dari buku,” ujar Hassan yang juga menjabat sebagai Kepala Pusat Studi Kebangsaan Prasmul.
Hasil survei ini, kata dia, memperlihatkan tren baru yang bisa menjadi tantangan sekaligus peluang bagi pendidik. Karena survei tersebut juga menunjukkan para anak didik menginginkan proses pembelajaran yang lebih interaktif.
Menurut Hassan, para pendidik, guru maupun dosen, harus siap menghadapi perubahan tersebut dan menangkap keinginan para anak didiknya.
“Guru perlu mengembangkan metode baru dalam pembelajaran yang lebih interaktif, tanpa mengurangi kualitas muatan ilmu yang disampaikan.” jelas Hassan.
Sebagai contoh, ujar Hassan, para pendidik bisa memanfaatkan media sosial, kecerdasan buatan, sampai teknologi metamesta (metaverse) untuk memberikan materi pendidikan secara multimedia, sehingga proses belajar para siswa menjadi lebih menarik.
Teknologi berkembang, revisi kurikulum harus lebih cepat
Sementara itu, Ketua Yayasan Guru Belajar, Bukik Setiawan, menekankan pentingnya penguatan pengembangan keahlian dan kemampuan guru.
Saat ini, kata Bukik, kapasitas program pengembangan guru sangat kecil sehingga berjalan lamban.
“Setiap tahun, pemerintah hanya menyediakan ruang pengembangan kapasitas untuk 300 ribu guru, tidak sebanding dengan kebutuhannya. Maka tak heran jika banyak pendidik yang merasa kesulitan mengikuti perubahan.” terang Bukik.
Menurut Bukik, pada kenyataannya, saat ini, di Indonesia perubahan kurikulum terhitung lamban.
“Idealnya revisi atau penyesuaian kurikulum itu dilakukan setiap tahun, berdasarkan hasil evaluasi. Terlebih dengan pesatnya perkembangan teknologi seperti sekarang.” ujar Bukik.
Namun, ia menambahkan, perubahan kurikulum per lima tahun saja sudah terasa terlalu cepat, karena pengembangan kapasitas gurunya yang juga berjalan lamban.
“Para pendidik jadi terkesan kewalahan mengikuti perkembangan zaman.”
Salah satu solusi yang bisa dilakukan untuk mengatasi persoalan itu, kata Bukik, bisa dimulai dari institusi pendidikan.
“Caranya dengan menambah anggaran dan memprioritaskan program pengembangan kapasitas dan kemampuan guru.” tandas Bukik.
Saat ini, lanjut Bukik menjelaskan, rata-rata setiap sekolah di Indonesia hanya menganggarkan bujet sebesar 0-2 persen dari total anggaran sekolah untuk kebutuhan pengembangan guru.
“Kebanyakan institusi pendidikan masih memprioritaskan anggaran mereka untuk pembangunan fasilitas dan prasarana. Padahal pengembangan kapasitas guru sangat penting.” terang Bukik.
Idealnya, ujar Bukik, institusi pendidikan menyiapkan minimal 20 persen anggarannya untuk kebutuhan pengembangan guru.
“Kita perlu mendorong para pendidik untuk maju dan berkembang.” pungkas Bukik. (DED)
Be the first to comment