Refleksi Akhir Tahun 2022 dan Outlook Pendidikan 2023, Melihat Realita Dunia Pendidikan Indonesia Hari ini

Media Trans Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) bersama Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) dan Suara Orangtua Peduli (SOP) mengadakan Refleksi Akhir Tahun dan Outlook Pendidikan 2023 di Bakoel Coffie, Cikini, Jakarta Pusat (30/12/2022).

Pembicara dalam acara ini adalah Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji, Co-Director Yayasan PEKKA Fitria Villa Sahara, serta aktivis SOP Rahmi Yunita. Para narasumber mengapresiasi upaya pemerintah memperbaiki sistem pendidikan nasional.

Namun demikian, dalam pelaksanaan di lapangan masih terjadi banyak persoalan. Bahkan program BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang seharusnya menjadi sarana meningkatkan kualitas pendidikan malah menjadi lahan subur praktek korupsi.

Penelitian lapangan yang dilakukan JPPI menunjukkan praktik korupsi di sekolah dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Bahkan tahun 2022 mengalami peningkatan lebih dari 100% dibanding tahun sebelumnya. Semua bersumber dari kurangnya transparansi manajemen sekolah.

Ki-Ka : Kornas JPPI, Ubaid Matraji dengan Fitria Villa dari PEKKA

Persoalan lain di lingkungan sekolah adalah makin maraknya tindak kekerasan fisik, non-fisik, dan seksual di sekolah. Ironisnya, pelakunya tidak hanya sesama siswa. Guru yang mustinya menjadi pengayom malah juga ikut terlibat. Tentu saja situasi ini sangat memprihatinkan.

Bila mau dirunut ke belakang, persoalan tata kelola lingkungan sekolah sudah muncul sejak proses penerimaan peserta didik baru. SOP menyoroti bagaimana sistem zonasi sekolah ternyata juga tidak mampu menjawab persoalan-persoalan yang sudah lama ada.

Semisal pemberian akses pendidikan yang belum merata kepada semua anak, fasilitas kegiatan belajar yang kurang mendukung pengembangan bakat dan minat anak, sampai kurang meratanya kualitas sekolah sehingga memunculkan label sekolah favorit dan non-favorit.

Seolah belum cukup, kini muncul RUU SISDIKNAS 2022 yang justru membuka peluang privatisasi dan liberalisasi pendidikan.

Bagi Ubaid Matraji dan Rahmi Yunita, semua pihak yang terlibat dalam pendidikan nasional harus berani bersuara. Tidak ragu memberikan kritik dan saran, termasuk kepada para pengambil kebijakan, demi kemajuan dunia pendidikan nasional.

Fitria Villa Sahara dari Yayasan PEKKA memberikan perspektif lain tentang dunia pendidikan di Indonesia. Sebagai lembaga yang bergerak di bidang pemberdayaan perempuan, PEKKA mendapati banyak perempuan kurang mendapat akses pendidikan yang layak.

Padahal realita di lapangan menunjukkan banyak perempuan menjadi tulang punggung keluarga. Akses terhadap sumber ekonomi, hukum, maupun jaminan perlindungan sosial sangat terbatas sehingga rentan mengalami kemiskinan dan mudah menjadi korban eksploitasi.

Bertolak dari situ, Fitria terus berusaha menyadarkan semua pihak bahwasanya pendidikan merupakan hak semua orang. Bukan hanya anak-anak yang masih di usia sekolah.

Untuk itu Yayasan PEKKA merancang berbagai program pemberdayaan masyarakat. Hari ini Yayasan PEKKA telah hadir di 15 provinsi di Indonesia.

Program-program seperti literasi digital, pengembangan ekonomi sirkular, advokasi, penyuluhan, sampai diskusi terbukti mampu memberi dampak positif kepada masyarakat. Terutama kaum perempuan yang selama ini kurang diperhatikan.

Walau begitu, Fitria berharap pemerintah serta seluruh elemen masyarakat dapat memberi dukungan supaya hasilnya lebih maksimal.

Persoalan dunia pendidikan Indonesia memang sangat kompleks. Peran serta semua pihak, terutama para pengambil kebijakan di tingkat daerah hingga pusat, sangat diperlukan untuk menyelesaikan semuanya.

Salah satu langkah penting yang bisa diambil adalah dengan memastikan dunia pendidikan Indonesia terbebas dari semua kepentingan politik. Kiranya dengan demikian dunia pendidikan kembali pada tujuan semula, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. (ROB)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*