Media Trans – Upaya Institut Leimena bersama berbagai mitra dari dalam dan luar negeri untuk membangun literasi keagamaan secara skala besar di Indonesia mendapatkan sambutan positif.
Director International Center for Law and Religion Studies (ICLRS) Brigham Young University, Brett Scharffs, dan President International Religious Freedom (IRF) Secretariat, Nadine Maenza, mengapresiasi peran Institut Leimena dalam edukasi literasi keagamaan lintas budaya kepada para guru dan penyuluh agama dari seluruh Indonesia.
Menurut Brett Scharffs, salah satu yang dapat dipelajari dari Institut Leimana adalah kekuatan dari upaya membangun literasi keagamaan lintas budaya. Mereka melakukan hal tersebut dalam skala besar, dengan fokus pada pelatihan yang telah melibatkan hampir 6.000 guru.
“Salah satu kehebatan dari pelatihan mereka adalah bahwa mereka meminta umat Islam untuk membagikan tentang Islam, umat Kristen untuk membagikan tentang Kekristenan, demikian pula umat Yahudi membagikan tentang Yudaisme,” ujar Scharffs saat sesi pembukaan Konferensi Internasional Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) pada 13 November 2023.
Scharffs mengatakan konferensi internasional adalah sebuah pencapaian besar, terutama di masa-masa yang sulit dan penuh tantangan. Dalam dunia yang terpolarisasi, sangat berarti untuk menyatukan sekelompok orang yang begitu luas dan beragam.
Secara khusus, di dunia dimana agama sering kali menjadi senjata dan bukannya alat perdamaian, sulit untuk melebih-lebihkan betapa pentingnya literasi agama dan lintas budaya.
Lebih lanjut Scharffs mengatakan konferensi ini digelar juga untuk memperingati Hari HAM ke-75 pada 10 Desember, saat itu Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) atau Universal Declaration of Human Rights diadopsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Hal ini sejalan dengan tema konferensi yang dipilih secara cermat dan sangat penting.
“Martabat manusia, yang tidak hanya menjadi prinsip dasar DUHAM, tetapi juga sebuah prinsip gerakan HAM menjadi mungkin dan dapat membuka pintu, membangun jembatan, serta menemukan kesamaan di dunia saat ini. Dengan mendorong negara hukum, menunjukkan kita peduli terhadap supremasi hukum, kemudian menciptakan masyarakat yang damai dan inklusif,” ucap Scharffs.
Scharffs menambahkan Indonesia menjadi pemimpin global dalam mempromosikan masyarakat yang damai dan inklusif.
“Kita semua harus banyak belajar, termasuk yang terpenting dari Indonesia, yang merupakan pemimpin global dalam menciptakan dan mempertahankan cita-cita dan mekanisme yang membantu mempromosikan masyarakat yang damai dan inklusif,” tegas Brett Scharffs.
Terkesan dengan Keberhasilan Program LKLB
President International Religious Freedom (IRF) Secretariat, Nadine Maenza menyatakan terkesan dengan keberhasilan program LKLB yang diadakan Institut Leimena, serta keterlibatan dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
“Bagaimana mereka bersama-sama membuat perbedaan. Sungguh menakjubkan mengetahui 6.000 guru dari 34 provinsi sudah dilatih literasi keagamaan lintas budaya,” kata Maenza.
Maenza menyatakan LKLB memegang peranan kunci untuk menumbuhkan saling pemahaman satu sama lain dan tidak merasa takut dengan perbedaan.
“Kewarganegaraan yang setara dan inklusif adalah obat dari begitu banyak ketidakstabilan dan kekerasan yang kita lihat di seluruh dunia saat ini,” tandasnya.
Maenza terinspirasi oleh pendekatan-pendekatan baru yang dilakukan IRF Secretariat, Templeton Religion Trust, ICLRS Brigham Young University, Institut Leimena, dan pihak-pihak lainnya dalam menyatukan orang-orang untuk terlibat dan belajar satu sama lain, serta bekerja sama membangun hubungan multi-agama, kohesi sosial, keamanan, perdamaian, dan kemakmuran.
Dia menjelaskan IRF Secretariat telah menginisiasi IRF Roundtable di beberapa negara, yaitu pertemuan meja bundar yang terdiri dari individu-individu dari organisasi non-pemerintah untuk berkumpul secara rutin membahas isu-isu kebebasan beragama internasional.
IRF Roundtable menjadi ruang aman dimana para peserta bisa berbicara dengan bebas untuk berbagi ide dan informasi, serta mengusulkan tindakan advokasi bersama dalam mengatasi isu dan permasalahan kebebasan beragama internasional tertentu.
Maenza menyebut dampak paling terlihat dari IRF Roundtable adalah pemerintah, komunitas agama, dan masyarakat sipil bisa bekerja sama membangun masyarakat dengan kesadaran untuk menghargai martabat manusia tanpa memandang agama, suku, gender, atau status sosial.
Di Amerika Serikat, IRF Roundtable diadakan setiap tiga bulan di Gedung Capitol (kantor Kongres Amerika Serikat) yang juga dihadiri staf dari Kementerian Luar Negeri,
Komisi AS untuk Kebebasan Beragama Internasional, Komisi Helsinki, Komisi HAM Tom Lantos, International Religious Freedom Caucus, anggota kongres, dan kedutaan besar asing.
“Inilah cara kita meningkatkan kebebasan beragama secara global dan jangka panjang,” katanya.
Racun Ekstremisme Beragama
Senior Fellow Institut Leimena Alwi Shihab, mengatakan keberagaman adalah bagian dari rancangan Tuhan yang perlu dihargai dan diterima oleh kita semua.
Harmoni dalam keberagaman di suatu negara atau masyarakat menunjukkan kedewasaan pemikiran dan masyarakat madani.
“Semakin jauh dari penerimaan terhadap keberagaman, maka semakin dekat pula pada kanker yang tidak diinginkan, yaitu ekstremisme agama yang telah terbukti berkali-kali sangat beracun dan berbahaya,” kata Alwi.
Namun, ujar Alwi, fakta tersebut akhir-akhir ini telah ditentang oleh kelompok-kelompok agama yang ironisnya merasa diri sebagai satu-satunya yang murni dan paling benar.
Kehadiran radikalisme memunculkan ekstremisme dari sisi pemikiran internal yang bisa menyuburkan benih-benih konflik dan kekerasan.
“Fenomena yang tidak mengenakkan ini sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai utama yang dibawa oleh agama-agama besar, yaitu kerukunan dan keharmonisan,” lanjutnya.
Alwi, yang juga narasumber utama program LKLB, menyebut dialog dan toleransi merupakan kebutuhan dasar bagi kerukunan umat manusia di dunia yang terpecah belah saat ini.
Agama-agama besar seperti Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Yahudi, dan ajaran agama lainnya, dalam hal teologi, memiliki satu kesamaan yaitu mengajarkan cinta, kasih sayang, ketundukan pada Yang Maha Agung, dan saling menghormati satu sama lain.
Alwi menegaskan meskipun panjang dan berliku, upaya mengembangkan model perdamaian dan pemahaman antar umat beragama harus terus dilakukan.
“Di sinilah dialog antar budaya dapat memainkan peran yang signifikan. Semua yang telah disinggung di atas merupakan pilar penting dan bahan dasar dari program yang sedang kami kejar dan kerjakan yaitu literasi agama lintas budaya,” Pungkas Alwi. (DED)
Be the first to comment