Media Trans – Seminar onsite hasil survey Bilangan Research Center (BRC) bertajuk “Church Leadership Survey : Mindset, Dimension, and Regeneration”, diadakan pada 17 Mei 2023 di Kalam Kudus Center APL Tower Central Park Jakarta Barat, menghadirkan 4 tokoh utama BRC, yakni Pdt. (Em) Robby I. Chandra, D.Min (Pendeta Emeritus Gereja Kristen Indonesia, Pembina BRC), Bambang Pudjianto, Ph.D (Ketua Pembina BRC, Sekjen Asia Evangelical Alliance), Deddi Tedjakumara (Board BRC, Presdir Prasetiya Mulya Executive Learning Institute), dan Ketua BRC Handi Irawan. Hasil survey menunjukkan fakta-fakta temuan menarik, yang perlu menjadi perhatian para pemimpin gereja.
Handi Irawan mengemukakan bahwa melalui hasil survey BRC akan terlihat, apakah size gereja mempengaruhi leadership dan outcome nya? Apakah gereja kecil dan gereja besar hasilnya berbeda? Demikian juga dengan profil pribadi, usianya, gendernya, edukasinya, dan sebagainya.
Handi menyebutkan bahwa survey mengupas 3 P, yakni power source, process, dan performance, pada pembahasan lebih lanjut disampaikan oleh Pdt. Emeritus Robby I. Chandra, D.Min yang akan menyampaikan tentang power source yang terbagi dalam personal dan mindset.
Pembahasan Robby Chandra juga akan menyampaikan tentang metafora kepemimpinan, diantaranya apakah seorang dirigen yang baik, tour guide yang baik, seperti panglima perang, ataukah seorang petani.
Kemudian lanjut sesi Bambang Budijanto, Ph.D yang akan mengupas tentang proses, seperti leading up, leading base, leading down, dibagi beberapa subdimensinya, misal leading with care, leading with courage, master communication, dan empowerment.
Pada sesi akhir dibawakan Dr. Deddi Tedjakumara, CEO Prasetiya Mulya, yakni tentang performance meliputi outcome dan impact dikaitkan dengan hal regenerasi/suksesi kepemimpinan.
Robby Chandra menyampaikan bahwa metafora merupakan salah satu bahasan penting dalam power source leader, kita akan melihat kepemimpinan dalam pelaksanaan tugasnya, penghayatannya, dan sebagainya, banyak terkait dengan fokus kepemimpinan atau pelaksanaan dari kepemimpinan yang diberlakukan.
“Metafora dan pelaksanaan kepemimpinan akan menentukan kepemimpinannya, dan itu akan berimbas daripada outputnya, yaitu bagaimana memilih tim pelayananan dan jemaat, macam-macam hal, bagaimana menolong orang, menavigasikan organisasi dengan berpikir strategik, ini akan diwarnai banyak hal, juga bagaiamana hal pemenuhan panggilan Tuhan terjadi” demikian disampaikan Robby.
Dari sekian banyak metafora tersebut, metafora mana yang paling banyak nyata dipraktekan dalam kepemimpinan gereja, jawabannya Coach sebanyak 39,3%, Panglima Perang 5,8%.
“Tapi yang menarik menurut saya, Coach itu tadi adalah menentukan standar kinerja dan pelatihan, sementara tugas paling penting dari pemimpin adalah mengembangkan orang yang ada bersamanya, yaitu mengenali potensi atau talenta tiap-tiap pribadi, mengembangkannya dan mengajak menentukan arah, serta memilih cara mencapainya” tandas Robby.
Sementara mengenai pilihan paling banyak tentang fokus kepemimpinan, adalah pemimpin kami memotivasi dan menggerakkan orang-orang pada satu tujuan, tapi cara yang paling banyak dipilih adalah cara Panglima Perang 29,5%, cara Petani 29,1%,
“Ini kita bagaimana menyimpulkannya ya? Ternyata cara yang paling banyak dipilih secara paksa model Panglima Perang” ujar Robby.
Kemudian Bambang Budijanto, tokoh yang berkecimpung dalam bidang training kepemimpinan, membahas tentang leading people yang terbagi dari leading up (relasi terhadap level diatas kita), leading peers (relasi terhadap satu level dengan kita), dan leading down (relasi terhadap level dibawah kita), juga membahas strategic thinking, ada 7 aspek memimpin organisasi, jadi pembahasan bersifat dua sisi, yakni satu sisi memimpin orang, satu sisi lain memimpin organisasi.
“Tiga skor tertinggi hasil survey yang pertama modelling humility 43,3%, lalu master communication, kemudian ketiga leading with courage. Selain itu ada 3 yang paling lemah, yakni paling lemah soal empowerment 20,2%, lalu terendah kedua leading peers, memimpin teman-teman satu level. Ketiga terendah yakni inovasi” lanjut Bambang.
Dalam hal menentukan majelis jemaat, ada dua yang paling menonjol yakni : yang dipilih langsung dari atas (sinode), dan yang kedua adalah total demokrasi, yakni jemaat memilih dan memutuskan.
Mentorship mempunyai bobot tinggi dalam kesiapan regenerasi, yang mempunyai mentor memiliki kualitas lebih bagus dari yang tidak mempunyai mentor.
Bambang menyebutkan terkait hal pendidikan teologia, ada 4 variabel yakni bergelar Doktor, Master, Sarjana, dan Tidak ada pendidikan teologi terstruktur formal.
“Mereka gembala/ pemimpin yang Doktor hampir disemua sektor paling tinggi, sementara yang bergelas Master selalu skornya rendah, lebih rendah dari yang Sarjana. Dalam konteks leading up, hamba-hamba Tuhan yang non gelar teologi, mempunyai skor paling tinggi, mereka kebanyakan para pebisnis/profesional, jadi kemungkinan dengan background profesi, mereka lebih related dengan jajaran diatasnya (sinode, dsb)” jelas Bambang.
Terkait mobilisasi jemaat, kembali mereka yang non teologia memiliki skor tertinggi, lalu dengan hal mempersiapkan pemimpin mendatang (regenerasi), ternyata mereka yang non teologi mendapatkan skor tertinggi.
Faktor enterpreneurship mempunyai pengaruh tinggi untuk kemajuan gereja, mereka yang merintis jemaatnya memiliki skor jauh lebih tinggi dari mereka yang meneruskan jemaat yang ada.
Jiwa enterpreneurship didalam diri hamba Tuhan, berpengaruh terhadap kualitas kepemimpinannya.
“Mengenai pelatihan kepemimpinan, soal leading peers, kalau pelatihan hanya 1x 2x tidak ada gunanya, untuk level leading peers minimal 5x pelatihan, dalam hal empowerment pun sama, bila hanya 1x 2x pelatihan tidak berdampak terhadap empowerment, demikian juga terkait dengan inovasi” tandas Bambang.
Sementara Deddi Tedjakumara, mengupas regenerasi sebagai isu yang relevan dengan kepemimpinan, apakah gereja-gereja atau pemimpin-pemimpin gereja saat ini, menghadapi masalah regenerasi? Survey yang dilakukan BRC adalah bersifat self perception.
Disampaikan Deddi, untuk cakupan wilayah Jabodetabek, Jawa dan Sumatera dibandingkan dengan wilayah lain, lebih banyak yang mengalami kesulitan regenerasi, hal ini mungkin dikarenakan faktor keberagaman (diversity) yang cukup tinggi). Sementara bagi gereja yang size nya besar, tampak kesulitan regenerasinya lebih tinggi.
Bagaimana dengan kualitas regenerasinya? Sekitar 80% rata-rata hasil suvey mengatakan memiliki pemimpin lebih baik hasil regenerasi, jelas Deddi lebih lanjut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kesulitan regenerasi : inovasi; mereka yang tidak berinovasi, tingkat kesulitan regenerasinya tinggi, kemudian encouraging; ada pola yang sama dengan inovasi, yakni pemimpin yang memiliki kemampuan meng encourage, akan memiliki peluang mengalami kemudahan dalam regenerasi. Hal empowerment juga sama, walaupun tidak setajam inovasi hasilnya. Leading with courage tidak begitu tajam hasil inovasi, demikian juga Motivasi.
Mereka yang mempunyai motivator, peluang lebih besar melakukan regenerasi, sama halnya juga dengan Strategic Thinking.
Untuk lebih lengkap dan jelas mengenai hasil Church Leadership Suvey, ataupun seminar onsite dimaksud, dapat menghubungi Bilangan Research Center brcoffice@bilanganresearch.com. (DED)
Be the first to comment