
Media Trans – Selebgram Ratu Entok alias Ratu Thalisa, bernama asli Irfan Satria Putra Lubis (40) dijatuhi hukuman penjara selama 2 tahun 10 bulan atau 34 bulan, terbukti bersalah melakukan ujaran kebencian dan penodaan agama, menyusul viral kontennya menyuruh Yesus potong rambut, saat siaran langsung di pada aplikasi TikTok, ujar Hakim Ketua Achmad Ukayat di Pengadilan Negeri Medan, Senin (10/3/2025).
Tak hanya itu putusan pengadilan, majelis hakim juga menghukum Ratu Entok membayar denda sebesar Rp100 juta dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana tiga bulan kurungan.
Tanggapan Pdt Gomar Gultom
Pdt Gomar Gultom sebagai tokoh Kristen mantan Ketum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, dalam keterangan kepada media menyesalkan putusan hakim.
“Saya menyesalkan Keputusan Pengadilan Negeri (PN) Medan yang menjatuhkan hukuman penjara 34 bulan kepada selebgram Kota Medan Irfan Satria Putra Lubis alias Ratu Thalisa alias Ratu Entok (40) dalam kasus dugaan penistaan agama (Senin, 10 Marer 2024)” ujar Pdt Gomar yang saat dipercaya menjadi Ketua Majelis Pertimbangan PGI dalam rilisnya kepada media.
Lebih lanjut, Pdt Gomar menjelaskan bahwa, “Kekristenan sama sekali tidak ternodai dan tidak merasa terhina dengan aksi dan perkataan Ratu Thalisa melalui Tiktoknya. Kekristenan menjunjung tinggi prinsip kebebasan, dan olehnya membuka ruang untuk segala bentuk ekspresi, termasuk kebebasan Ratu Thalisa dalam mengekspresikan pendapatnya”.
Pdt Gomar mengemukakan “Hanya orang yang tidak mampu merayakan keberagaman yang merasa terganggu dengan itu, yang tidak dapat digeneralisir sebagai kekristenan. Sejarah panjang kekristenan penuh dengan onak duri dan ragam pengambatan, tetapi Yesus sendiri berkata, “ampunkanlah mereka Bapa.” Sudah, selesai begitu saja” tandas Pdt Gomar.
Menurut Pdt Gomar, kasus yang menjerat Ratu Thalisa, yang meminta Yesus mencukur rambutnya, tidak seharusnya dibawa ke ranah hukum.
“Kalaupun itu harus dimasukkan sebagai delik penghinaan atau penodaan agama, sebagaimana tuntutan jaksa, mestinya cukuplah diselesaikan dengan nasehat atau paling keras dengan teguran berupa peringatan. Pasal 313 KUHP yang merupakan penyempurnaan Pasal 156a KUHP lama merupakan akomodasi dari UU Nomor 1/PNPS/1965. UU itu sendiri mengamanatkan demikian, cukup dengan nasehat atau teguran (ayat 2). Kalau sudah diperingatkan tetapi masih melakukan juga, barulah dibawa ke ranah hukum sebagai tindak pidana (ayat 3)” terang Pdt Gomar.
Penggunaan pasal-pasal dari Undang-Undang nomor 11/2008 dan nomor 1/2024, keduanya tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, hanya hendak membuktikan betapa bermasalahnya UU tentang Informasi dan Transasi Elektronik ini dari perspektif kebebasan berekspresi, menurut Pdt Gomar hal tersebut saya harus ditinjau ulang.
“Penggunaan segala bentuk blasphemy law dan turunannya sangat berbahaya secara fundamental, karena memberi kesempatan kepada negara berteologi, sesuatu yang mestinya dihindari, karena bukan ranahnya. Oleh karenanya, saya berharap Ratu Thalisa mengajukan banding, dan dengan ini saya mengimbau pengadilan tinggi mengoreksi Keputusan PN Medan tersebut dan serta merta membebaskan Ratu Thalisa” pungkas Pdt Gomar. (DED)
Be the first to comment