Media Trans – Mensikapi kasus pembunuhan Pdt. Yeremias Sanambani didaerah Distrik Hitadipa Kabupaten Intan Jaya Provinsi Papua, yang diduga kuat dilakukan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), Ketua Sinode Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Wilayah II Papua, Pdt. Petrus Bonyadone, saat konferensi pers daring (online) bersama Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Kamis (24 September 2020), dengan dimoderatori oleh Sekretaris Umum MPH PGI, Pdt. Jackvelyn Frits Manuputty, MA, mengungkapkan kronologis terbunuhnya Pdt. Yeremias yang dikenal sebagai tokoh masyarakat pelayan Tuhan puluhan tahun di Distrik Hitadipa.
Konferensi pers diikuti oleh sejumlah pendeta Tanah Papua, seperti Ketua BPA Sinode GKI Tanah Papua Pdt. Andrikus Mofu, M.Th, Ketua MPH PGI Wilayah Tanah Papua Pdt. Hiskia Rollo, S.Th, M.Si, juga hadir Ketua Umum Sinode Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Pdt. Dr. Daniel Ronda, jurnalis media dalam negeri dan luar negeri, seperti Reuters dan CNN Indonesia.
Pdt. Petrus Bonyadone mengemukakan bahwa Pdt. Yeremia Sanambani adalah tokoh yang paling disegani di Intan Jaya lebih khusus di Distrik Hitadipa.
“Pendeta Yeremia adalah seorang tokoh masyarakat di sana yang sudah puluhan tahun menjadi pelayanan Tuhan. Selain sebagai pelayan gereja, beliau adalah Ketua Sekolah Alkitab Hitadipa, dan penterjemah Alkitab dalam Bahasa Moni,” tutur Pdt Petrus.
Kematian Pdt. Yeremia, lanjut Pdt Petrus, meninggalkan duka sangat mendalam bagi seluruh umat Kristiani di Kabupaten Intan Jaya. Dia adalah ‘pelita’ di antaranya orang Moni yang tertinggal di pegunungan Papua.
Pdt Petrus pun mengungkapkan kronologis berdasar penjelasan langsung para saksi, yang mengetahui langsung di lapangan, tentang bagaimana sang gembala berakhir tragis.
Dijelaskan rangkaian peristiwa berawal dari hari Kamis 17 September 2020, disebutkan ada seorang anggota TNI Pratu Dwi Akbar dari Yonif 711/RKS/Brigif 22/OTA, tewas dibacok di Hitadipa, dan dikatakan senjatanya dirampas serta dibawa lari orang yang diduga KKSB (Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata – red) atau TPNPB-OPM (Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka – red).
Lanjut Pdt Petrus, esok harinya Jumat 18 September 2020, terjadi penyisiran oleh pasukan TNI di wilayah Hitadipa, mereka berupaya mencari pelaku pembacokan namun tidak ketemu.
“Jadi ada semacam kecurigaan terhadap warga kami yang ada di Hitadipa. Di sana ada beberapa pendeta lainnya,” jelas Pdt Petrus.
Kemudian, Sabtu 19 September 2020, Pdt Yeremia bersama istri pergi ke kandang untuk memberi makan ternak babi mereka. Setelah dekat dengan kandang babi, mereka sempat berjumpa dengan anggota TNI, tutur Pdt Petrus.
Dijelaskan Pdt Petrus, anggota TNI sempat bertanya: “Bapak dengan Mama mau kemana ? Mereka jawab mau pergi kasih makan babi. Jadi ada semacam kecurigaan dari anggota TNI bahwa apakah mau kasih makan babi atau OPM/KKB,” ujar Pdt Petrus.
Almarhum Pdt. Yeremia ketika itu berulang kali menegaskan bahwa mereka benar-benar hendak memberi makan ternak babi. Setelah itu, mereka kemudian berlalu menuju kandang babi.
Tidak lama setelah memberi makan babi, Istrinya lalu mengajak Pdt. Yeremia untuk segera pulang karena melihat situasi kurang kondusif.
“Istrinya bilang, ini hari sudah malam, situasi juga kurang baik, kita pulang sudah. Tapi beliau bilang, Mama duluan sudah. Saya ada bakar ubi jadi nanti saya makan dulu baru ikut dari belakang,” dikisahkan Pdt Petrus.
Begitu sampai dirumah, sekitar pukul 18.15 WIT, istri Pdt. Yeremia mendengar bunyi tembakan dari arah kandang babi yang tidak begitu jauh dari rumah mereka.
“Mama lalu memberitahukan ini kepada beberapa teman pendeta, katanya: ini bunyi tembakan jangan sampai bapak ditembak,” ujar Petrus menirukan keterangan istri Yeremia.
Pendeta-pendeta itu kemudian menegur istri Yeremia dan mengatakan bahwa “Ini hari sudah gelap, sudah malam, kenapa bapak dengan mama berani pergi kasih makan ternak babi. Situasi juga kurang bagus”.
“Oleh karena sudah malam, para pendeta ini memutuskan untuk pergi mengecek ke lokasi kandang babi Pdt Yeremia esok hari,” lanjut Petrus.
Sedangkan istrinya, masih memberanikan diri kembali ke kandang babi malam itu juga. Sesampainya di sana, dia mendapati suaminya tergeletak sudah ditembak. Tapi Pdt Yeremia masih bernafas, dia masih bicara ke istrinya: “Aduh Mama, saya sudah ditembak” jelas Pdt Petrus.
Diungkapkan bahwa Pdt Yeremia sempat menceritakan bagaimana sampai dia ditembak. Dikatakan bahwa ada anggota TNI datang kepada dia menanyakan katanya: “Kami sudah mencari senjata teman kami yang sudah dibacok, tapi kami tidak dapat. Kami curiga bahwa bapak dorang yang ambil”.
“Almarhum sambil mengangkat tangan bilang, saya ini orang baik-baik tidak mungkin buat seperti itu. Pada saat itu dia ditembak di bahu, saya tidak tahu bahu mana, kiri atau kanan” ungkap Pdt. Petrus menceritakan keterangan saksi.
Istri Pdt Yeremia waktu itu langsung marah ke Pdt Yeremia dengan mengatakan: “Tadi saya sudah bilang bapak ayo pulang ke rumah sudah, sekarang bapak sudah ditembak”.
Pdt Yeremia dalam kondisi sekarat, mengatakan kepada istrinya: “Mama pulang sudah, nanti besok datang baru bawa saya”. Dalam kondisi mencekam, istri Yeremia lalu memutuskan pulang ke rumah.
Ternyata saat itu, tidak jauh dari lokasi tertembaknya Pdt Yeremias, lanjut kesaksian Pdt Petrus, ada dua ibu dan seorang bapak yang menyaksikan peristiwa penembakan tersebut, namun mereka ketiga orang ini sembunyi karena ketakutan.
“Setelah melakukan penembakan, tentara kemudian tinggalkan tempat itu. Dua orang ibu dan seorang bapak tadi kemudian menemani beliau yang dalam kondisi sekarat,” kata Petrus.
Jadi, menurut Pdt Petrus, setelah ditembak sekitar pukul 18.15 WIT Pdt Yeremia tidak langsung meninggal dunia, dia masih sempat bercerita, baik kepada istrinya, dan juga kepada dua ibu dan seorang bapak.
“Mungkin ada hal-hal lain yang beliau bicarakan dalam bahasanya (bahasa Moni) kepada dua ibu dan seorang bapak tadi. Saya merasa mereka ini adalah saksi kunci,” katanya.
Menurut cerita ketiga orang ini, Pdt Yeremia baru menghembuskan nafas terakhir jam 12 malam.
Kemudian pada pagi harinya, Minggu 20 September 2020, beberapa pendeta datang menemui Komandan Pos, minta izin untuk pergi melihat kondisi Pdt Yeremia yang sudah tertembak, Komandan Pos hanya mengijinkan 5 orang yang boleh melihat, tidak boleh lebih dari lima orang kata Komandan Pos.
Setelah itu, mereka mebawa jasad Pdt Yeremias ke kampung, ke Distrik Hitadipa. Ketika mereka tiba di Distrik Hitadipa, diceritakan mereka mendapatkan surat dari KKB yang mengatakan “segera kosongkan Hitadipa oleh karena kami mau masuk, mereka bilang, itu pendeta orang baik, itu pendeta mendoakan tentara, juga mendoakan kami, kenapa dia harus mengalami seperti itu” tutur Pdt Petrus.
Mereka tidak bisa beribadah saat itu, lanjut penjelasan Pdt Petrus, mereka juga mendapat dari pasukan (TNI) agar Pdt. Yeremia segera dimakamkan. Setelah dimakamkan, mereka diminta segera kosongkan Hitadipa, tidak boleh ada masyarakat di sana. Hari Minggu itu, sekitar jam 11 siang, mereka memakamkan Pdt Yeremias secara sederhana, tidak seperti biasanya tradisi mereka.
“Termasuk di situ ada seorang mantri, orang Moni, namanya Kobogau juga diperintahkan oleh Komandan Pos untuk meninggalkan Hitadipa,” kata Petrus.
Pdt. Petrus Bonyadone menambahkan, dirinya bersyukur saat itu masih bisa berkomunikasi telepon dengan pendeta (Pdt. Henok Kobogau) dilokasi Distrik Hitadipa, dan merekam keterangan saksi terkait kronologis peristiwa tertembaknya Pdt Yeremia.
Berdasar keterangan pendeta tersebut, yang turut juga memakamkan Pdt Yeremias, pada sekitar pukul 2 siang, mereka meninggalkan Hitadipa, mereka mengungsi ke hutan-hutan, ke kampung-kampung lain, sekitar 5-6 jam ditempuh berjalan kaki, lanjut Pdt Petrus.
Pdt Petrus menjelaskan bahwa, kisah kronologis yang didapatnya langsung dari orang-orang dilapangan, sudah disampaikan juga kepada Pangdam dan Kapolda. Kisah kronologis yang didapat dirinya, pun sama dengan apa yang disampaikan Komisi I DPRD Intan Jaya.
Berdasar kisah kronologis yang didapatnya, Pdt Petrus meyakini 95 persen, diduga kuat dilakukan oleh anggota TNI, dapat dibenarkan, karena informasi ini diperoleh dari lapangan dan para saksi yang masih ada.
Pdt Yeremias Sanambani meninggalkan seorang istri dan 6 orang anak, yang saat ini mereka masih dalam kondisi mengungsi. (DED)
Be the first to comment