Media Trans – Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tahun 2024, yang diteken Presiden RI Joko Widodo pada 30 Mei 2024 lalu, merupakan perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Aturan tersebut memberi ruang bagi Organisasi Kemasyarakatan Keagamaan (Ormas Keagamaan) untuk bisa mengelola Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) di Indonesia.
Diana Dewi yang adalah pengusaha nasional, founder dan CEO Grup Suri Nusantara Jaya, kepada mediatransformasi.com, menyampaikan pandangannya terhadap “bola panas” pemberian WIUPK pertambangan untuk Ormas Keagamaan, bahwa keputusan tersebut tidak tepat.
“Menurut hemat saya, tidak tepat bila urusan bisnis ditangani oleh organisasi keagamaan. Pasalnya, ormas keagamaan bersifat non-profit oriented, bukan mencari keuntungan hanya memberikan pelayanan kepada masing-masing umat dan tokoh agama” ujar Diana yang dalam beberapa bulan terakhir, telah meresmikan sejumlah pembukaan gerai Toko Daging Nusantara miliknya.
Lebih lanjut menurut Diana yang juga Ketua Umum KADIN DKI Jakarta, “Bila ormas keagamaan diizinkan mengelola tambang, maka bisa terjadi kerancuan dan juga memberi peluang kedepan partai politik dan ormas-ormas lainnya, bisa ikut mengelola tambang dan berbagai jenis usaha lainnya yang sejatinya menjadi ranah para pengusaha”.
“Padahal, sebagai social group, ormas dalam melaksanakan kegiatannya bersifat sukarela, sosial, mandiri, nirlaba dan demokratis. Apalagi ormas keagamaan yang jelas-jelas memiliki peran terhadap pembinaan umat. Berbeda dengan korporasi yang tujuannya memang untuk mencari profit” jelas Diana yang juga Bendahara Umum ICMI DKI Jakarta.
“Saya juga melihat bila urusan tambang ditangani oleh ormas keagamaan, maka berpotensi terjadi masalah karena terkait dengan kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang akan menanganinya. Kalau itu terjadi, maka pemerintah juga nanti yang akan kerepotan” terang Diana.
Diana menilai pemberian WIUPK kepada Ormas Keagamaan, pemerintah tidak matang dalam mempertimbangkan berbagai kemungkinan.
“Pemerintah tidak matang dalam mempertimbangkan berbagai kemungkinan, bila urusan bisnis diberikan kepada ormas keagamaan. Sebaiknya, urusan-urusan bisnis yang diberikan kepada para pebisnis. Masing-masing pihak sudah memiliki tupoksi dan spesialisasinya. Kalau ormas keagamaan kan jelas, demikian juga para pengusaha” tukas Diana.
Diana selain melihat pemberian WIUPK kepada Ormas Keagamaan tidak tepat, dan pemerintah tidak matang mempertimbangkannya, juga berpotensi menjadi tindak pidana pencucian uang.
“Selain itu ada potensi terjadi tindak pidana pencucian uang. Karena laba yang diperoleh nantinya bisa dialihkan ke ormas keagamaan tersebut, bukan lagi menjadi pajak yang harus dibayarkan sebagai pemasukan negara. Tentu ini akan membuat kerancuan dan kebingungan dalam pendapatan negara. Bukan tidak mungkin juga peluang ini dimanfaatkan oleh pengusaha-pengusaha nakal dengan mendorong ormas keagamaan mengelola suatu tambang dengan konsensi pembagian cukup antara pengusaha dengan ormas tersebut. Kan bisa kacau balau” tandas Diana.
“Hemat saya, biarkan saja soal tambang diurus oleh para pengusaha yang paham betul soal itu. Keputusan mengizinkan ormas keagamaan mengelola tambang terlalu berani dan berisiko besar” pungkas Diana. (DED)
Be the first to comment